Selasa, 05 Mei 2009

LEMBAGA KEUANGAN Utang seperti Permen Loli...

LEMBAGA KEUANGAN Utang seperti Permen Loli...

Senin, 4 Mei 2009 04:22 WIB
Utang yang dianggap ”pahala” oleh banyak pemerintah negara berkembang karena ”dipercaya oleh kreditor berarti kita kredibel” sebenarnya menuai bencana. Bisnis lembaga keuangan internasional pada dasarnya adalah memasarkan uang untuk mengeruk lebih banyak uang. Dampak bukan urusan mereka.

Suara-suara seperti itu digemakan para aktivis dari India, Banglades, Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Sri Lanka dalam forum Asian People’s Movement Against ADB di Denpasar, Bali, Sabtu (2/5) dan Minggu (3/5). Di tempat terpisah juga berlangsung People’s Tribunal yang menghadirkan korban ’pembangunan’ proyek-proyek yang didanai Bank Pembangunan Asia (ADB) dari berbagai negara di Asia.”Tak ada negara yang menjadi sejahtera karena utang,” ujar Gantam Bangyopadhyay dari Nadi Ghati Morcha, yang bekerja untuk masyarakat adat di Chhattisgarh, India.

Menghancurkan
Di Asia Selatan pada umumnya, lanjut Gantam Bangyopadhyay, ADB mendanai proyek-proyek besar agroindustri dan menggunakan benih transgenik yang mengancam kedaulatan benih komunitas. ADB juga membiayai pembangunan infrastruktur. Di Indonesia, salah satu rencana megaproyek yang didanai ADB adalah pengembangan jalan regional, konon akan disetujui Februari 2010. Menurut Titi Suntoro, Koordinator Advokasi Jaringan Forum NGO mengenai ADB, proyek itu mencakup Kalimantan Barat sepanjang 1.300 kilometer koridor jalan, Kalimantan Timur 600 kilometer, Jawa bagian selatan 1.700 kilometer dan perbaikan serta pelebaran dua-tiga meter, serta pembuatan jalan baru dan jalan tol.

Ravindranath dari River Basin Friends, India, menambahkan, proyek-proyek bendungan raksasa di India yang dibiayai ADB telah menggusur 300.000 keluarga. Mereka harus pindah sejauh 9 kilometer dari lokasi asal dan setiap pemindahan membuat orang dijauhkan dari sumber kehidupan dan penghidupannya, sekaligus tercerabut dari ikatan-ikatan sosial-budaya.

Siti Maemunah dari Jaringan Advokasi Tambang memaparkan, proyek industri ekstraktif gas Tangguh yang didanai ADB sekitar 350 juta dollar AS atau sekitar Rp 3,6 triliun menyebabkan 110 kepala keluarga atau 551 penduduk terusir dari tempat asalnya di Tanah Merah, Papua, dan harus menyingkir sekitar 3,5 kilometer. Itu hanya salah satunya.

Di sektor kelautan dan kehutanan yang didanai ADB mulai tahun 1970-an, menurut Riza Damanik dari Koalisi untuk Keadilan Perikanan, telah menjauhkan sedikitnya 5 juta hektar laut pada 29 kawasan konservasi laut dari jangkauan nelayan tradisional. Industri tambak udang telah menyebabkan 4,2 juta hektar hutan bakau menyusut menjadi 1,9 hektar pada tahun 2008. ”Sedikitnya Rp 648 miliar menjadi beban utang negara setiap tahun hingga tahun 2013,” sambung Dani Setiawan dari Koalisi Anti Utang. ADB juga membiayai proyek-proyek perkebunan sawit yang menghancurkan hutan dan keragaman hayati.”Sejak tahun 1991, proyek- proyek ADB di Kamboja telah menyebabkan masalah besar bagi masyarakat Kamboja di daerah pesisir,” tambah Om Savath dari Fisheries Action Coalition Team, Kamboja. Hal yang sama dipaparkan Dinna L Umengan dari Tambung Development, Filipina.
ADB, seperti halnya Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), menurut Ravindranath, terus berupaya melakukan kontrol melalui reformasi hukum di suatu negara.
”Itu cara paling sistematis untuk menguasai kita,” tambah Gantam Bangyopadhyay.

Tangga dipotong
Menurut Gantam Bangyopadhyay, cara yang digunakan lembaga-lembaga pemberi utang sudah semakin canggih. Mereka memakai istilah sustainable development, human rights, dan lain-lain, tetapi dengan definisinya sendiri.
”Pembangunan versi mereka adalah menghancurkan alam, ekosistem, dan masyarakat kita. Kepedulian mereka palsu,” sergah Taslima Islam Shorini dari Asosiasi Ahli Hukum Lingkungan Banglades.
Menurut Bart Edes, Kepala NGO dan Civil Society Center ADB, Safeguard Policy ADB telah mencakupi perlindungan lingkungan dan masyarakat adat, juga involuntary resettlement bagi mereka yang tanahnya terkena proyek jalan raya.

Toh, utang tetap saja membuat suatu bangsa kehilangan harga diri dan posisi tawarnya terhadap negara-negara pemegang saham tertinggi dalam lembaga-lembaga keuangan multilateral, kata Taslima. Utang dibuat negara berkembang untuk ’mengatasi ketertinggalannya dari negara maju’, suatu pandangan tentang ’pembangunan’ yang didefinisikan sepihak oleh negara maju. ”Pembangunan di negara berkembang itu seperti orang naik tangga. Begitu mau naik, anak tangganya dipotong. Begitu terus,” ujar Don Marut dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Namun, tawaran utang tetaplah menggiurkan. Seperti permen loli, manis, tetapi membuat haus menetap yang berpotensi memunculkan berbagai penyakit berbahaya. Seperti kata Taslima, ”Ketika pemerintah sadar bahwa utang menjerumuskan, kita sudah kehilangan semuanya….(MH/BEN/OIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar