Sabtu, 28 Maret 2009

PT. KUKDONG INTERNASIONAL LAKUKAN PEMILU SERIKAT PEKERJA

SI/BEKASI, Selasa, 24 Maret 2009 PT. Kukdong Internasional adalah sebuah perusahaan yang memproduksi garmen dengan berbagai merk seperti, Adidas, Nike, Reebok, S. Oliver, walmart dll dimana semua hasil produksinya adalah untuk memenuhi pasaran ekspor.

PT. Kukdong Internasional untuk Indonesia beralamat di Jl. Raya Narogong Km.12 Ds. Cikiwul Kec. Banter Gebang Kota Bekasi Jawa Barat. PT Kukdong Internasional memperkerjakan buruh/pekerja tidak kurang dari 1500 orang.

Sebelumnya di PT Kukdong hanya terdapat 1 (satu) serikat buruh yaitu serikat kerja Independen atau yang biasa disebut dan disingkat SPI PT Kukdong Internasional. SPI PT Kukdong sendiri sebenarnya sebelumnya adalah berasal dari serikat pekerja nasional (SPN) yang beberapa tahun lalu menyatakan mengundurkan diri dari SPN dan kemudian menyatakan diri menjadi serikat pekerja Independen PT Kukdong Internasional.
Akhir tahun 2008 lalu beberapa buruh PT Kukdong Internasional kembali berinisiatif membentuk kembali serikat pekerja nasional yang dulu pernah dibubarkan dan diganti dengan SPI. Dimana pendirian kembali serikat pekerja ini menurut perwakilan buruh dari anggota SPI yang tidak mau disebutkan namanya ketika ditanya adalah bahwa pendirian kembali SPN patut diduga adalah alat untuk mendukung rencana kebijakan management PT. Kukdong Internasional untuk mengubah hubungan kerja menjadi buruh kontrak dan outsourcing di PT Kukdong internasional mengingat dimana ada serikat pekerja SPN di Kota Bekasi pasti terjadi buruh Kontrak bahkan outsourcing sementara di PT. Kukdong saat ini tidak ada buruh kontrak maupun outsourcing yang terus dipertahankan oleh SPI.

Setelah terbentuknya kembali SPN maka saat ini ada 2 (dua) serikat Pekerja di PT Kukdong Internasional yaitu SPN yang anggotanya kurang lebih 800-an orang dan SPI adalah 600-an orang, keadaan ini mendorong keduanya baik SPN maupun SPI untuk melakukan Pemilu Serikat Pekerja maksudnya adalah bahwa para buruh di PT Kukdong Internasional sepakat menentukan pilihanya dengan cara Pemilu Serikat Pekerja yaitu buruh bebas memilih Apakah SPN, atau Apakah SPI pemilu serikat pekerja ini dilakukan pada hari Selasa, 24 Maret 2009 di PT. Kukdong Internasional hingga berita ini diturunkan belum diketahui siapa yang terpilih sebagai serikat pekerja mayoritas apakah SPN ataukah SPI.

Sebelum dilakukan pemilu Serikat Pekerja masing-masing serikat pekerja diberikan hak untuk melakukan kampanye dihadapan para buruh selama 1 jam dan Tanyajawab selama 15 menit kepada semua buruh, kampanye terbuka ini sendiri diadakan di ruangan kantin PT Kukdong Internasional.

Dalam kesepakatan kedua belah pihak (SPN dan SPI) jika setelah pemilu maka serikat pekerja yang minoritas di PT Kukdong Internasional harus dibekukan demikian mereka (SPN dan SPI) menyebutkan. [SI/IS]

Sabtu, 21 Maret 2009

PEMILU Untuk Rakyat…!!! Rakyat Yang Mana…?

Beberapa hari lagi kalau tidak ada halangan tepatnya tanggal 09 April 2009 rakyat Indonesia akan melaksanakan hajat rutin lima tahun sekali yakni PEMILU, guna untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat/DPR Pusat maupun Daerah serta memilih Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi Negara, para caleg baru maupun yang lama sibuk berlomba untuk menarik perhatian masyarakat, spanduk, baliho, stiker dan foto caleg nampang dipinggir-pinggir jalan, dengan modal itu, mereka berharap dan mengemis simpati rakyat untuk dipilih pada pemilu nanti, yang mengakibatkan jalan kotor dan semrawut “belum jadi wakil rakyat saja sudah mengotori, apalagi kalau sudah jadi”. Dan banyak juga yang coba mencuri-curi start kampaye.

Berbagai macam cara dilakukan oleh para caleg, mereka yang mempunyai modal milyaran rupiah bisa muncul dan berkampanye di televisi, mengumbar janji-janji, seolah-olah mereka sangat prihatin dan sedih melihat kemiskinan serta kesulitan yang dialami rakyat Indonesia.

Sudah puluhan kali rakyat Indonesia melaksanakan pemilu tetapi, nyatanya kondisi rakyat Indonesia semakin hari, makin terjerumus dalam jurang kemiskinan, Pemilu maupun Pilkada yang menjanjikan kesejahteraan untuk rakyat ternyata sangat jauh dari apa yang sudah dijanjikan, bagi rakyat terpilihnya para wakil rakyat yang duduk di DPR Daerah/Pusat, Walikota, Gubernur atau Presiden dan Wakil Presiden sekalipun, ternyata tidak membawa dampak berarti untuk rakyat, padahal pemilu telah menghabiskan uang Negara milyaran rupiah yang diambil dari pungutan pajak yang sebagian besar adalah uang dari rakyat.

Kehidupan rakyat Indonesia dari hari-kehari semakin terjerumus dalam jurang kemiskinan dan kemelaratan, klas buruh Indonesia banyak yang ter PHK, dan yang bekerjapun terancam PHK serta diupah ”murah”, kaum tani Indonesia tidak mampu lagi membeli pupuk, terpaksa dan ”dipaksa” menjadi buruh tani karena tidak mempunyai tanah, kaum nelayan susah untuk membeli solar, dan hidupnya semakin berat karena mereka tanpa daya dengan alat-alat tradisionalnya, harus berebut ikan dengan perusahaan asing yang menggunakan tekhnologi tinggi di pantai-pantai tanah airnya, serta pemuda mahasiswa tidak mendapatkan pendidikan karena sudah dikomersilkan dan susah untuk dapat pekerjaan, ribuan rakyat tidak sanggup lagi untuk membayar biaya pengobatan ketika sakit, yang akhirnya dengan terpaksa harus berobat kepada ”dukun cilik” dan percaya pada air bertuah. Pengusuran pedangan kaki lima/PKL dikota-kota besar yang sebagian mereka adalah para buruh korban PHK yang mencoba untuk bertahan hidup, jadi hiasan tayangan televisi tiap harinya.

Bersamaan dengan itu pula, Pemerintah mengekspor tenaga kerja (TKI) ”murah” ke luar negeri tanpa ada usaha untuk melindunginya, banyak kejadian yang memalukan Indonesia sebagai bangsa akibat pelecehan oleh sang majikan diluar negeri, yang didapat hanya cacat dan ajal yang jadi upahnya, padahal mereka menjadi penyumbang devisa Negara paling besar kedua setelah pajak migas.

Bukan menjadi rahasia lagi bahwa Negara Indonesia terkenal dengan memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, Indonesia adalah negeri yang kaya raya, segala jenis barang tambang nyaris semua ada diperut bumi Indonesia, dari minyak bumi, gas alam, batu bara, emas, perak, tembaga. Bahkan dengan kadar yang sangat tinggi, belum lagi dari kekayaan laut Indonesia yang juga melimpah, kekayaan laut Indonesia berupa ikan dan hasil-hasil laut lainnya, Indonesia juga memiliki kekayaan hutan tropis yang sangat luas. Dengan kekayaan yang sangat melimpah itu semestinya kehidupan rakyat Indonesia makmur dan sejahtera tidak ada yang hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan serta buta huruf yang berada didesa-desa tersebar diseluruh pelosok negeri.

Empat (4) tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 1945, Indonesia kembali masuk dalam cengkraman penjajahan (baca: colonialisme) tepatnya setelah ditandatangani perjanjian dalam Konfrensi Meja Bundar/KMB di Den Haag Belanda pada tahun 1949 oleh Moh Hatta, Indonesia dipaksa harus membayar hutang kepada Belanda, kemerdekaan yang telah mengorbankan ribuan nyawa Rakyat Indonesia akhirnya tergadaikan akibat dari para pimpinan negeri yang berwatak “kompromis”. Dan hal ini semakin diperparah dengan kudeta yang dilakukan oleh rezim orde baru pada tahun 1965, dengan mengorbankan kurang lebih tiga juta rakyat Indonesia yang tak berdosa menjadi tumbalnya. Maka sejak saat itu pula Indonesia menganut sistem ekonomi kapitalisme, dan menjadi surga bagi Investor asing, kekayaan bumi Indonesia yang melimpah hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, bahkan sebagian besar dinikmati oleh pihak asing (baca: imperialis) dengan investor yang menjadi topengnya.

Contoh yang nyata, kekayaan bumi Papua yang menghasilkan emas di Grasberg mencapai 86,2 juta ons, 32,2 juta tembaga dan 154,9 juta ons perak, sangat disayangkan kekayaan tersebut 90% hanya dapat dinikmati oleh negara imperialis Amerika (baca: PT. Freeport) yang hampir selama 40 tahun sejak April 1967 menghisap dan menguras kekayaan bumi Papua, tetapi ironisnya Papua tergolong provinsi miskin dan mayoritas penduduk Mimika di mana PT. Freeport beroperasi, hidup di bawah garis kemiskinan, dan mereka terpaksa hidup gunung-gunung dan hutan-hutan Papua. Pemerintahpun disebutkan kehilangan triliunan rupiah setiap tahun, padahal keuntungan bersih perusahaan PT. Freeport pada tahun 2002 mencapai Rp 1,27 triliun, tahun 2003 naik menjadi Rp 1,62 triliun, berikutnya melonjak menjadi Rp 9,34 triliun. (sumber: ANTARA News 21/12/08).

Di Kalimantan batu bara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun, emas 16 ton pertahun, perak 14 ton pertahun, minyak bumi 79 juta barel pertahun, namun dari sekitar 2.5 juta penduduk Kalimantan, sekitar 313.040 orang tergolong hidup dibawah garis kemiskinan, di bumi Nangro Aceh Darussalam cadangan gasnya mencapai 17.1 triliun kaki kubik sampai dengan tahun 2002 hampir 70% cadangan gas di wilayah ini dikuras habis oleh PT. Arun LNG dengan operatornya PT. Exxon Mobil Oil/Amerika sejak tahun 1978, namun sangat ironis Aceh menempati urutan keduapenduduk miskin terbesar di Indonesia, sesuai dengan hasil penelitian World Bank pada Rabu, 13 September 2006. (sumber : www.hidayatullah.com)

Ironi ini sebenarnya mudah dipahami karena watak asli dari sistem ekonomi kapitalisme, yang melahirkan penjajahan dan Imperialisme, sejak tahun 1949 negeri Indonesia terjerumus dalam neo kolonialisme penjajahan model baru tetapi isinya klasik, sistem ekonomi kapitalisme yang secara fakta selalu berpihak kepada para kapitalis atau pemilik modal, pemerintahpun telah banyak melahirkan banyak Undang-Undang/UU dan Peraturan yang hanya lebih berpihak kepada pemilik modal (baca: kapitalis), tak terkecuali kepada pihak asing, dengan mengeluarkan kebijakan swastanisasi dan privatisasi, UU adalah produk dari DPR atau Peraturan Pemerintah/PP yang dibuat oleh Presiden sebagai pemegang amanah rakyat, UU dan peraturan tersebut akhirnya memungkinkan pihak swasta dan pihak asing terlibat dalam pengelolaan (baca: menguasai) kekayaan milik rakyat Indonesia, sejak tahun 60 an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal asing (PMA) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri(UU No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk dapat menguasai 49 persen saham sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN/Badan Usaha Milik Negara.

Dampak dari pengesahan Undang-Undang tersebut adalah semakin leluasanya pihak asing untuk menguasai dan merampok serta menguras habis sumber-sumber kekayaan alam negeri Indonesia yang notabene milik semua rakyat Indonesia yang seharusnya di pergunakan untuk kemaslahatan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Dan pada tahun 2004 DPR telah mengesahkan tiga paket UU, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 2 tahun 2004 tentang PPHI, kesemua UU tersebut sebagai pengganti UU sebelumnya, yang ”katanya” UU sebelumnya yang dibuat pada masa Pemerintahan Bung Karno terlalu memproteksi (baca: melindungi) terhadap kepentingan rakyat Indonesia (baca: klas buruh). Dampak dari pengesahan Undaang-Undang tersebut, hilangnya jaminan atas pekerjaan dengan penerapan sistem kerja kontrak dan outsorrsing, serta hilangnya perlindungan Negara terhadap buruh nasib buruh diserahkan pada mekanisme pasar, yang seharusnya Negara melindungi rakyatnya sendiri.

Sifat dasar hubungan dalam sistem ekonomi kapitalisme ditentukan oleh milik siapakah alat-alat produksi..? (tanah, hutan, perairan, bahan mentah minyak, gas, batubara, emas, perak, tembaga, alat-alat perhubungan dll), milik perseorangan yang menggunakan alat-alat itu untuk menghisap kaum pekerja kah..?, ataukah milik suatu masyarakat yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan materiil dan kulturil massa rakyat/kebutuhan seluruh masyarakat?. “Perlu dipahami bahwa dasar hubungan produksi dalam sistem ekonomi kapitalis adalah hak milik perseorangan kaum kapitalis atas alat-alat produksi menjadi milik kaum kapitalis, hal inilah dasar bagi penghisapan kaum kapitalisk kepada rakyat pekerja/klas buruh, padahal klas buruh adalah kalangan yang paling menentukan dalam proses produksi, perkembangan sosial masyarakat secara umum adalah hasil kerja sosial klas buruh, butir-butir keringat dan tenaga yang diperas setiap hari tidak dihargai dengan upah yang setimpal, keuntungan dan kekayaan memusat pada segelintir pemilik modal (baca: kapitalis) saja yang mengakibatkan kemiskinan menyebar luas di berbagai ruang sosial”.

Seharusnya alat produksi seperti tanah, hutan, perairan, alat-alat perhubungan bahan-bahan mentah (minyak bumi, gas, batubara, emas, perak, tembaga dll) dikuasai dan dikelola oleh Negara/Pemerintah dan digunakan untuk kemaslahatan seluruh rakyat, jadi selama masih dianutnya sistem ekonomi kapitalis dalam suatu negara, maka selama itu pula akan ada penindasan dan penghisapan manusia atas manusia lain, dan selama itu pula akan terjadi pertentangan dalam hubungan masyarakat, antara orang yang tidak bermilik/ploretar, dengan yang bermilik/borjusi.

Jadi selama sistem ekonomi kapitalis masih dianut oleh Negara Indonesia walaupun puluhan kali pemilu dilakukan maka tetap saja kehidupan rakyat Indonesia tidak akan mengalami perubahan yang berarti, dan selama para borjuasi (legislatif, yudikatif) tidak berani berkata ”TIDAK” terhadap Kapitalisme dan Kolonialisme, selama itu pula negara Indonesia hanya akan menjadi negeri setengah jajahan/setengah feodal serta hanya menjadi penyedia bahan-bahan mentah, menjadi pasar bagi produk-produk kapitalis, dan hanya akan menjadi sapi perah kaum kapitalis.

Pemilu 2009, akan menghabiskan bermilyar-milyar rupiah uang negara yang dari hasil devisa yang diperoleh buruh migran/TKI dan pajak yang diberikan rakyat kepada negara; tanpa pernah mampu untuk menyelesaikan persoalan rakyat, termasuk klas buruh didalamnya.[AMM/SS]

PEMILU Untuk Rakyat…!!! Rakyat Yang Mana…?

Beberapa hari lagi kalau tidak ada halangan tepatnya tanggal 09 April 2009 rakyat Indonesia akan melaksanakan hajat rutin lima tahun sekali yakni PEMILU, guna untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat/DPR Pusat maupun Daerah serta memilih Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi Negara, para caleg baru maupun yang lama sibuk berlomba untuk menarik perhatian masyarakat, spanduk, baliho, stiker dan foto caleg nampang dipinggir-pinggir jalan, dengan modal itu, mereka berharap dan mengemis simpati rakyat untuk dipilih pada pemilu nanti, yang mengakibatkan jalan kotor dan semrawut “belum jadi wakil rakyat saja sudah mengotori, apalagi kalau sudah jadi”. Dan banyak juga yang coba mencuri-curi start kampaye.

Berbagai macam cara dilakukan oleh para caleg, mereka yang mempunyai modal milyaran rupiah bisa muncul dan berkampanye di televisi, mengumbar janji-janji, seolah-olah mereka sangat prihatin dan sedih melihat kemiskinan serta kesulitan yang dialami rakyat Indonesia.

Sudah puluhan kali rakyat Indonesia melaksanakan pemilu tetapi, nyatanya kondisi rakyat Indonesia semakin hari, makin terjerumus dalam jurang kemiskinan, Pemilu maupun Pilkada yang menjanjikan kesejahteraan untuk rakyat ternyata sangat jauh dari apa yang sudah dijanjikan, bagi rakyat terpilihnya para wakil rakyat yang duduk di DPR Daerah/Pusat, Walikota, Gubernur atau Presiden dan Wakil Presiden sekalipun, ternyata tidak membawa dampak berarti untuk rakyat, padahal pemilu telah menghabiskan uang Negara milyaran rupiah yang diambil dari pungutan pajak yang sebagian besar adalah uang dari rakyat.

Kehidupan rakyat Indonesia dari hari-kehari semakin terjerumus dalam jurang kemiskinan dan kemelaratan, klas buruh Indonesia banyak yang ter PHK, dan yang bekerjapun terancam PHK serta diupah ”murah”, kaum tani Indonesia tidak mampu lagi membeli pupuk, terpaksa dan ”dipaksa” menjadi buruh tani karena tidak mempunyai tanah, kaum nelayan susah untuk membeli solar, dan hidupnya semakin berat karena mereka tanpa daya dengan alat-alat tradisionalnya, harus berebut ikan dengan perusahaan asing yang menggunakan tekhnologi tinggi di pantai-pantai tanah airnya, serta pemuda mahasiswa tidak mendapatkan pendidikan karena sudah dikomersilkan dan susah untuk dapat pekerjaan, ribuan rakyat tidak sanggup lagi untuk membayar biaya pengobatan ketika sakit, yang akhirnya dengan terpaksa harus berobat kepada ”dukun cilik” dan percaya pada air bertuah. Pengusuran pedangan kaki lima/PKL dikota-kota besar yang sebagian mereka adalah para buruh korban PHK yang mencoba untuk bertahan hidup, jadi hiasan tayangan televisi tiap harinya.

Bersamaan dengan itu pula, Pemerintah mengekspor tenaga kerja (TKI) ”murah” ke luar negeri tanpa ada usaha untuk melindunginya, banyak kejadian yang memalukan Indonesia sebagai bangsa akibat pelecehan oleh sang majikan diluar negeri, yang didapat hanya cacat dan ajal yang jadi upahnya, padahal mereka menjadi penyumbang devisa Negara paling besar kedua setelah pajak migas.

Bukan menjadi rahasia lagi bahwa Negara Indonesia terkenal dengan memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, Indonesia adalah negeri yang kaya raya, segala jenis barang tambang nyaris semua ada diperut bumi Indonesia, dari minyak bumi, gas alam, batu bara, emas, perak, tembaga. Bahkan dengan kadar yang sangat tinggi, belum lagi dari kekayaan laut Indonesia yang juga melimpah, kekayaan laut Indonesia berupa ikan dan hasil-hasil laut lainnya, Indonesia juga memiliki kekayaan hutan tropis yang sangat luas. Dengan kekayaan yang sangat melimpah itu semestinya kehidupan rakyat Indonesia makmur dan sejahtera tidak ada yang hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan serta buta huruf yang berada didesa-desa tersebar diseluruh pelosok negeri.

Empat (4) tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 1945, Indonesia kembali masuk dalam cengkraman penjajahan (baca: colonialisme) tepatnya setelah ditandatangani perjanjian dalam Konfrensi Meja Bundar/KMB di Den Haag Belanda pada tahun 1949 oleh Moh Hatta, Indonesia dipaksa harus membayar hutang kepada Belanda, kemerdekaan yang telah mengorbankan ribuan nyawa Rakyat Indonesia akhirnya tergadaikan akibat dari para pimpinan negeri yang berwatak “kompromis”. Dan hal ini semakin diperparah dengan kudeta yang dilakukan oleh rezim orde baru pada tahun 1965, dengan mengorbankan kurang lebih tiga juta rakyat Indonesia yang tak berdosa menjadi tumbalnya. Maka sejak saat itu pula Indonesia menganut sistem ekonomi kapitalisme, dan menjadi surga bagi Investor asing, kekayaan bumi Indonesia yang melimpah hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, bahkan sebagian besar dinikmati oleh pihak asing (baca: imperialis) dengan investor yang menjadi topengnya.

Contoh yang nyata, kekayaan bumi Papua yang menghasilkan emas di Grasberg mencapai 86,2 juta ons, 32,2 juta tembaga dan 154,9 juta ons perak, sangat disayangkan kekayaan tersebut 90% hanya dapat dinikmati oleh negara imperialis Amerika (baca: PT. Freeport) yang hampir selama 40 tahun sejak April 1967 menghisap dan menguras kekayaan bumi Papua, tetapi ironisnya Papua tergolong provinsi miskin dan mayoritas penduduk Mimika di mana PT. Freeport beroperasi, hidup di bawah garis kemiskinan, dan mereka terpaksa hidup gunung-gunung dan hutan-hutan Papua. Pemerintahpun disebutkan kehilangan triliunan rupiah setiap tahun, padahal keuntungan bersih perusahaan PT. Freeport pada tahun 2002 mencapai Rp 1,27 triliun, tahun 2003 naik menjadi Rp 1,62 triliun, berikutnya melonjak menjadi Rp 9,34 triliun. (sumber: ANTARA News 21/12/08).

Di Kalimantan batu bara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun, emas 16 ton pertahun, perak 14 ton pertahun, minyak bumi 79 juta barel pertahun, namun dari sekitar 2.5 juta penduduk Kalimantan, sekitar 313.040 orang tergolong hidup dibawah garis kemiskinan, di bumi Nangro Aceh Darussalam cadangan gasnya mencapai 17.1 triliun kaki kubik sampai dengan tahun 2002 hampir 70% cadangan gas di wilayah ini dikuras habis oleh PT. Arun LNG dengan operatornya PT. Exxon Mobil Oil/Amerika sejak tahun 1978, namun sangat ironis Aceh menempati urutan keduapenduduk miskin terbesar di Indonesia, sesuai dengan hasil penelitian World Bank pada Rabu, 13 September 2006. (sumber : www.hidayatullah.com)

Ironi ini sebenarnya mudah dipahami karena watak asli dari sistem ekonomi kapitalisme, yang melahirkan penjajahan dan Imperialisme, sejak tahun 1949 negeri Indonesia terjerumus dalam neo kolonialisme penjajahan model baru tetapi isinya klasik, sistem ekonomi kapitalisme yang secara fakta selalu berpihak kepada para kapitalis atau pemilik modal, pemerintahpun telah banyak melahirkan banyak Undang-Undang/UU dan Peraturan yang hanya lebih berpihak kepada pemilik modal (baca: kapitalis), tak terkecuali kepada pihak asing, dengan mengeluarkan kebijakan swastanisasi dan privatisasi, UU adalah produk dari DPR atau Peraturan Pemerintah/PP yang dibuat oleh Presiden sebagai pemegang amanah rakyat, UU dan peraturan tersebut akhirnya memungkinkan pihak swasta dan pihak asing terlibat dalam pengelolaan (baca: menguasai) kekayaan milik rakyat Indonesia, sejak tahun 60 an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal asing (PMA) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri(UU No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk dapat menguasai 49 persen saham sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN/Badan Usaha Milik Negara.

Dampak dari pengesahan Undang-Undang tersebut adalah semakin leluasanya pihak asing untuk menguasai dan merampok serta menguras habis sumber-sumber kekayaan alam negeri Indonesia yang notabene milik semua rakyat Indonesia yang seharusnya di pergunakan untuk kemaslahatan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Dan pada tahun 2004 DPR telah mengesahkan tiga paket UU, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 2 tahun 2004 tentang PPHI, kesemua UU tersebut sebagai pengganti UU sebelumnya, yang ”katanya” UU sebelumnya yang dibuat pada masa Pemerintahan Bung Karno terlalu memproteksi (baca: melindungi) terhadap kepentingan rakyat Indonesia (baca: klas buruh). Dampak dari pengesahan Undaang-Undang tersebut, hilangnya jaminan atas pekerjaan dengan penerapan sistem kerja kontrak dan outsorrsing, serta hilangnya perlindungan Negara terhadap buruh nasib buruh diserahkan pada mekanisme pasar, yang seharusnya Negara melindungi rakyatnya sendiri.

Sifat dasar hubungan dalam sistem ekonomi kapitalisme ditentukan oleh milik siapakah alat-alat produksi..? (tanah, hutan, perairan, bahan mentah minyak, gas, batubara, emas, perak, tembaga, alat-alat perhubungan dll), milik perseorangan yang menggunakan alat-alat itu untuk menghisap kaum pekerja kah..?, ataukah milik suatu masyarakat yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan materiil dan kulturil massa rakyat/kebutuhan seluruh masyarakat?. “Perlu dipahami bahwa dasar hubungan produksi dalam sistem ekonomi kapitalis adalah hak milik perseorangan kaum kapitalis atas alat-alat produksi menjadi milik kaum kapitalis, hal inilah dasar bagi penghisapan kaum kapitalisk kepada rakyat pekerja/klas buruh, padahal klas buruh adalah kalangan yang paling menentukan dalam proses produksi, perkembangan sosial masyarakat secara umum adalah hasil kerja sosial klas buruh, butir-butir keringat dan tenaga yang diperas setiap hari tidak dihargai dengan upah yang setimpal, keuntungan dan kekayaan memusat pada segelintir pemilik modal (baca: kapitalis) saja yang mengakibatkan kemiskinan menyebar luas di berbagai ruang sosial”.

Seharusnya alat produksi seperti tanah, hutan, perairan, alat-alat perhubungan bahan-bahan mentah (minyak bumi, gas, batubara, emas, perak, tembaga dll) dikuasai dan dikelola oleh Negara/Pemerintah dan digunakan untuk kemaslahatan seluruh rakyat, jadi selama masih dianutnya sistem ekonomi kapitalis dalam suatu negara, maka selama itu pula akan ada penindasan dan penghisapan manusia atas manusia lain, dan selama itu pula akan terjadi pertentangan dalam hubungan masyarakat, antara orang yang tidak bermilik/ploretar, dengan yang bermilik/borjusi.

Jadi selama sistem ekonomi kapitalis masih dianut oleh Negara Indonesia walaupun puluhan kali pemilu dilakukan maka tetap saja kehidupan rakyat Indonesia tidak akan mengalami perubahan yang berarti, dan selama para borjuasi (legislatif, yudikatif) tidak berani berkata ”TIDAK” terhadap Kapitalisme dan Kolonialisme, selama itu pula negara Indonesia hanya akan menjadi negeri setengah jajahan/setengah feodal serta hanya menjadi penyedia bahan-bahan mentah, menjadi pasar bagi produk-produk kapitalis, dan hanya akan menjadi sapi perah kaum kapitalis.

Pemilu 2009, akan menghabiskan bermilyar-milyar rupiah uang negara yang dari hasil devisa yang diperoleh buruh migran/TKI dan pajak yang diberikan rakyat kepada negara; tanpa pernah mampu untuk menyelesaikan persoalan rakyat, termasuk klas buruh didalamnya.[AMM/SS]

Selasa, 17 Maret 2009

AKSI HARI PEREMPUAN FRONT PERJUANGAN RAKYAT

Hari libur tidak berarti Jakarta bebas dari aksi unjuk rasa. Sekitar 150 orang yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, Minggu (8/3).

Aksi tersebut memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret. Dalam aksinya, massa menyoroti diskriminasi terhadap pekerja perempuan.

Massa juga menuntut pemerintah agar mengeluarkan kebijakan mengenai pemenuhan hak-hak perempuan di dunia kerja. Massa menilai selama ini hak-hak perempuan dalam dunia kerja, seperti hak cuti melahirkan dan haid belum terpenuhi.

Sebelumnya massa melakukan aksi longmarch dari bundaran Hotel Indonesia menuju Istana Negara. Aksi keprihatianan ini berjalan damai dan tidak menganggu arus lalu lintas.

President of South Korea Visited PT. Busana Prima Global I, in Bogor , in His Political Visited to Indonesia

Jakarta, 16 March 2009
News : President of South Korea Visited PT. Busana Prima Global I, in Bogor , in His Political Visited to Indonesia on March 6, 2009.

President of South Korea, Mr. Lee and His Wife Mrs. Kim Yoon –Ok, conducted His Politial visited to Indonesia on March 06, 2009 until Sunday ( March 08, 2009). In His visited to Indonesia, President of South Korea scheduled to special visited to The Best Companies who South Korea owner in Indonesia. One of the best companies is PT. Busana Prima Global I, in Bogor.

On Saturday (March 07, 2009), President of South Korea visited PT. Busana Prima Global around 2.30 pm. Visited a State President to PT. BPG I, welcomed with Closed Security and Guarding. According to workers, the plan visited of President of South Korea to factory have informed a week before it by management to all workers. Management asked to all workers to working as good and result the best quality, because PT. Busana Prima Global as one of the best garment companies who South Korea Owner in Indonesia is have good quality and as be able to increased Export.

In President’s visited to PT. Busana Prima Global Closed Guard by Presidency’s Guard and Intelligences and Jurnalist from South Korea as well. The visited welcomed by Mr. Jae Han Park directly as President Director of PT. Busana Prima Global and all the Management factory. Beside that followed 10 the best South Korea Entrepreneurs from 10 the best Garment Companies in Indonesia.

After the welcome spoked, Mr. Jae Han Park showed Le Coq Sportif Jacket as one of the best quality and product is produced by PT. Busana Prima Global. Then, President Lee visited to department-departemen (sections) of Factory as well and met with some workers who did their works.

In a day President Lee’s visited to PT. Busana Prima Global, the working atmosphere changed drasticly is pictured that working condition within factory is better and human. But Pity, President Lee did not dialogue with workers. About 4.00 pm, President of South Korea, Mr. Lee, finished His visiting and leaved the Best Company is Korea Owner.

Fact : PT. Busana Prima Global as the Best Company in Indonesia have workers who working in Worn out condition and Violated Freedom of Association.
PT. Busana Prima Global is garment company as South Korea owner which employed about 2000 person workers who majority is Women Workers. This company producing Sportwear for Europe Market. With many Brand such as : Le Coq Sportif, Ping Collection, Surridge, SOT Oliver, Hagar, Jack Wolfskin.

In Mid 2003 ago, PT. Busana Prima Global was Dismissed to 170 workers because Formed Union. With Violated of Freedom of Association it, PT. Busana Prima Global have Big attention from International Campaign is demanded Buyers and Factory management to Respected and Implemented Freedom of Association for all workers without intimidation and retaliation to workers who joined and become a Union members.
Working condition in this company does not better than previous year. One of work system is worn out and still conducting in this factory is work system “Gorol”, where the workers who did not get production target, have to finished their production target altought they working over 7 hours, and over the work hours did not payed.

Beside that, on year 2007, 2 union leader (SBGTS-GSBI) was dismissed by management because only they sent letters to Buyers related with working condition and asked regarding order in PT. Busana Prima Global. According to management, Both Union leader of SBGTS-GSBI has made The company’s good reputation was befouled and have consequence decrease order in factory because Buyer declined their orders.

In Fact, order in this factory never been decreased in fact brands and kind product is producing at factory more increase. The dismissed action to Both Union Leaders of SBGTS-GSBI is real shape that PT. Busana Prima Global still did not accepted and recognized SBGTS-GSBI as one of workers union within factory. If SPN as one of union at factory have facilities from management, but management still rejected to give facilities for SBGTS-GSBI. if SPN could be have chance to carry out union activity freely during working time, management still carry out hampered and limited for SBGTS-GSBI union leader to followed union activity (if GSBI invited them to followed Training or union meeting).

If President of South Korea give appreciation and His Proud to Mr. Jae Han Park as Owner of PT. Busana Prima Global because can keep increase Quality and Export successfully. Should the workers is get appreciated from President of South Korea not Mr. Jae Han Park or factory Managers. Because the workers who made Sportwear and have the Best Quality and give profit to the company and keep Buyers Trust to PT. Busana Prima Global.

If President of South Korea give His Appreciation to PT Busana Prima Global as one of 10 the best garment companies who Korea owners in Indonesia because be able to increase Export and have best quality. Did Mr. Lee as President of South Korea still have proud and give appreciation to Mr. Jae Han Park, if He know that PT. Busana Prima Global have Violated Workers Rights and Freedom of Association violation ????

In Solidarity,

Emelia Yanti MD. Siahaan
General Secretary of GSBI

Dewan Pimpinan Pusat
Gabungan Serikat Buruh Independen
(Federation of Independent Trade Union)
JL. Raya Lenteng Agung No. 2 RT. 04/03
Srengseng Sawah, Jakarta Selatan
Indonesia 12640
Phone/Fax :+6221-786 4203
Email : gsbi_pusat@yahoo.com

Rabu, 11 Maret 2009

Buruh PT. Daelim Indonesia Lakukan Unjukrasa

Dirikan Serikat Buruh Independen Buruh PT. Daelim Indonesia Di PHK dan dirumahkan.

Bekasi /Selasa, 10 Maret 2008, Tidak kurang 200-an buruh PT Daelim Indonesia yang tergabung dalam Serikat Buruh Matel dan Elektronik- Gabungan Serikat Buruh Independen (SBME-GSBI PT. DLI) lakukan unjukrasa. Unjukrasa ini dilakukan atau dimulai pada pukul 08.30 wib yang mengambil titik kumpul di depan PT. Daelim Indonesia kemudian aksi unjukrasa dilanjutkan ke Kantor Disnaker Kab. Bekasi dikomplek Pemda Kabupaten Bekasi.

Aksi unjukrasa para buruh yang tergabung serikat buruh Metal dan Elektronik ini terjadi sebagai akibat dari perlakukan management PT Daelim Indonesia yang melakukan PHK terhadap para buruh yang mendirikan serikat buruh Independen (SBME) dimana seluruh pimpinan serikat buruh atau yang biasa disebut Pimpinan Tingkat Perusahaan Serikat Buruh Metal dan Elektronik (PTP SBME) di PHK, bahkan saat ini para buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Metal dan Elektronik dirumahkan dengan alasan sepinya order namun faktanya perusahaan menerima buruh dengan status kontrak.

Sejak beberapa bulan lalu masalah ini sudah dilaporkan kepada Disnaker Kab. Bekasi tetapi hingga saat ini kasus pelanggaran kebebasan berserikat ini belum juga mendapat tindaklanjut yang jelas dari kantor Disnaker Kab. Bekasi demikian Widyo salah seorang Pimpinan Tingkat Perusahaan SBME PT Daelim Indonesia menyatakan dalam sela-sela aksi.

Dalam aksi unjukrasa ini perwakilan buruh kemudian diterima oleh pejabat Disnaker Kab. Bekasi Bidang Pengawasan dan Penyidik Disnaker Kab. Bekasi diantaranya Bapak Safril, Bapak Sihotang, Bapak Monang, Bapak Bambang, dan Bapak Subiyanto dalam pertemuan ini Disnaker Kab. Bekasi berjanji segera menindaklanjuti laporan pelanggaran kebebasan berserikat yang terjadi di PT Daelim Indonesia dan meminta SBME untuk memberikan data-data yang diperlukan mengingat bahwa masih banyak bukti yang harus dipenuhi untuk melanjutkan kasus pelanggaran kebebasan berserikat ini.

Dalam orasinya Haris, ketua umum Serikat buruh Metal dan Elektronik PT Dailim Indonesia menyatakan bahwa SBME akan terus melakukan perjuangan hingga praktek-praktek anti terhadap kebebasan berserikat bagi buruh diusut tuntas oleh Disnaker Kab, Bekasi demi tegaknya hukum di Kab.Bekasi.

Aksi unjukrasa para buruh ini berjalan dengan tertib dan pada pukul 14.00 wib aksi unjukrasa para buruh bubar dan para buruh meninggalkan kantor Disnaker Kab. Bekasi. [SI/ISM].

Senin, 09 Maret 2009

PERSATUAN BMI TOLAK OVERCHARGING (PILAR)


PERNYATAAN SIKAP

PERSATUAN BMI TOLAK OVERCHARGING (PILAR)

Rayakan Hari Perempuan Internasional Dengan Terus Berjuang Membela Pekerjaan, Upah dan Hak-Hak Kita Dari Serangan Pemerintah Hong Kong dan Indonesia

Hari ini, 8 Maret, perempuan pekerja diseluruh dunia, termasuk Buruh Migran Indonesia yang mayoritas perempuan merayakan Hari Perempuan Internasional (HPI). Sejak diresmikannya sebagai Hari Perempuan Internasional pada tahun 1917, setiap tanggal 8 Maret kaum perempuan di semua negeri berbondong-bondong turun ke jalan menyerukan tuntutan-tuntutanny a untuk perbaikan kondisi kerja dan pengakuan terhadap hak-hak perempuan. Semangat perubahan inilah yang terus digelorakan sepanjang tahun dan abad oleh kaum perempuan pekerja untuk melawan belenggu ketertindasan dan penghisapan terhadap mereka.

Namun perayaan kali ini menjadi sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya sebab terjadi ditengah-tengah krisis keuangan dunia. Krisis yang awalnya terjadi di Amerika Serikat, kini telah merembet ke seluruh penjuru dunia dan menghancurkan sendi-sendi ekonomi rakyat di semua negeri. Krisis kali ini bukan hanya memporak-porandakan kestabilan sistem globalisasi pasar bebas yang selama ini dipuja-puja oleh imperialis (negara-negara adikuasa) serta para pengikutnya, termasuk pemerintah Indonesia dan Hong Kong, tapi juga mengikis kepercayaan rakyat dunia tentang sistem kapitalis itu sendiri. Sejak terjadinya krisis, jutaan buruh lokal maupun migran telah di-PHK massal, dirumahkan dan jutaan lainnya terancam PHK.

Tapi sayangnya, bukannya membela rakyat sendiri, para pemerintah penganut sistem kapitalis (modal) justru menalangi bisnis-bisnis yang bangkrut. Di Hong Kong, kita saksikan sendiri PHK massal yang menimpa ratusan buruh lokal dari perbankan atau perusahaan jasa lainnya, sementara bisnis banyak yang sudah gulung tikar. Sebagai buruh migran yang bekerja di Hong Kong dan mayoritas adalah perempuan, kita patut bersiaga. Ketika krisis menghantam Hong Kong di tahun 2002, pemerintah Hong Kong terbukti tidak segan-segan memotong upah para buruh biasa termasuk PRT asing sebanyak HK$400 dan kemudian menerapkan pajak sebesar HK$400 pula dari majikan yang mempekerjakan PRT asing. Tahun-tahun setelah itu ketika ekonomi Hong Kong membaik, pemerintah sama sekali tidak menaikan upah kita secara memadai, sementara buruh lain sudah menikmati kenaikan upah.

Di saat krisis semacam ini, pemerintah seharusnya mengutamakan perlindungan terhadap buruh-buruh di Hong Kong termasuk PRT asing yang menerima upah paling rendah dibanding pekerja lainnya. Maka, tidak salah apabila di saat krisis kita meneruskan tuntutan untuk menaikan upah kita. Selain itu, pajak yang hanya ditunda 5 tahun tetap ancaman bagi kita, maka tuntutan penghapusan pajak selamanya tetap harus kita kobarkan. Sejak akhir tahun kemarin saja, beberapa BMI sudah mengadu menjadi korban PHK karena majikan kena PHK atau bangkrut, sementara yang lainnya terpaksa harus tidak diberi libur setiap hari minggu karena majikan harus bekerja tambahan di hari tersebut. Berdasarkan laporan shelter, fenomena pemukulan terhadap buruh migran pun semakin meningkat khususnya sejak awal tahun ini sebagai akibat dari krisis.

Tapi disisi lain, menggunakan kebijakan New Condition of Stay (NCS) atau two weeks rule atau aturan 2 minggu visa ini, pemerintah Hong Kong melarang PRT asing untuk langsung ganti majikan jika alasan PHK bukan karena majikan meninggal, pindah keluar negeri, mengalami kesulitan keuangan atau menjadi korban penganiayaan atau pelanggaran kontrak. Maka kali ini, kita harus memperkencang tuntutan penghapusan two weeks rule atau minimal pemerintah Hong Kong harus menunda penerapan two weeks rule dengan mengijinkan PRT asing yang di-PHK dengan alasan apapun di masa krisis ini untuk mencari majikan baru tanpa harus membatasi visa mereka hanya 14 hari dan memproses kontrak baru tanpa harus keluar Hong Kong.

Minimal dengan cara ini, beban kita akan sedikit terkurangi. Meski dampak belum begitu menonjol tapi krisis akan terus memburuk dan akan menyerang rakyat Hong Kong termasuk kita para buruh migran.Kondisi Ketenagakerjaan BMI di Hong Kong Di Hong Kong sendiri, BMI yang mayoritas adalah perempuan mengalami kondisi kerja yang mengenaskan. BMI menjadi korban tingginya biaya penempatan sebesar HK$21.000 dengan cara memotong gaji selama 5-7 bulan berturut-turut. Jika menolak membayar, pasti diteror dan diyakinkan akan di-PHK. Untuk menjamin BMI membayar, paspor dan kontrak kerja BMI ditahan oleh agency atau majikan. Sementara sebagai PRT asing, BMI mengalami berbagai pelanggaran kontrak kerja seperti peniadaan hak libur, penganiayaan, pelecehan seksual, pemerkosaan, kerja ilegal, akomodasi dan makanan tidak memadai, perlakuan tidak manusiawi, dan lain sebagainya. Selain itu, peningkatan jumlah BMI di Hong Kong tidak disertai dengan peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan bagi BMI oleh Konsulat Indonesia.

Sampai hari ini tuntutan agar Konsulat Indonesia buka penuh di hari minggu di Hong Kong dan Macau belum dipenuhi.Meskipun tuntutan-tuntutan untuk perbaikan kondisi kerja telah diserukan oleh organisasi-organisa si BMI tapi pemerintah Indonesia sama sekali tidak mau merespon dan cenderung pura-pura tidak mendengar. Program ekspor TKI adalah program penjualan perempuan PHK massal sebagai akibat krisis sudah dirasakan oleh buruh migran khususnya yang bekerja di perusahaan-perusaha an manufaktur. Ribuan BMI di Malaysia, Taiwan, Korea, yang mayoritas perempuan, dideportasi setelah pabriknya bangkrut bahkan banyak yang tidak diupah dan diganti rugi. Mereka yang menolak dipulangkan dan masih ingin mencari sumber penghidupan di negara tersebut terpaksa menjadi tidak berdokumen atau overstay. Lalu apa tindakan pemerintah Indonesia menyikapi kondisi ini? Pemerintah Indonesia bukannya memperjuangkan BMI ini agar tidak dideportasi dan hak-haknya diberikan, tapi malah sibuk mengejar target pengiriman TKI keluar negeri sebanyak 1-2 juta orang per tahun. Krisis dan kemiskinan di tanah air dijadikan alasan pemerintah untuk mengintensifkan program ekspor TKI, yang hakekatnya adalah ekspor kaum perempuan, yang seakan-akan dilihat sebagai satu-satunya jalan keluar dari persoalan yang melilit rakyat hari ini.

Target-target lowongan diluar negeri antara lain perawat, pekerja hiburan, PRT, buruh pabrik, dsb yang mayoritas menuntut perempuan sebagai tenaga kerja utamanya. Sementara disisi lain, pemerintah tidak mau bertanggung jawab atas perlindungan dan keselamatan rakyatnya yang bekerja diluar negeri. Jika pemerintah begitu berambisi mengekspor TKI, itu karena tiga alasan utama yaitu sebagai sumber devisa, mengurangi pengangguran dan meminimalkan dampak sosial akibat kemiskinan massal di tanah air. Julukan pahlawan devisa tidak lebih dari pujian kosong untuk mendorong rakyatnya agar mau diekspor. Untuk menjalankan program ini, pemerintah bekerjasama dengan PJTKI/PPTKIS swasta dan menyerahkan semua urusan pengiriman ke mereka yang bertujuan tidak lain kecuali mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari keringat BMI. Tahun 2004, Pemerintah mengesahkan UUPPTKILN No. 39 yang mengatur penempatan TKI keluar negeri.

Di UU 39 ditegaskan bahwa PJTKI/PPTKIS adalah kaki tangan pemerintah dan semua pengiriman TKI keluar negeri harus melalui agen swasta ini, jika tidak maka TKI tersebut dianggap ilegal. Aturan inilah yang kemudian meniadakan hak BMI untuk melakukan kontrak mandiri. UU 39 tidak mengatur komisi PJTKI yang seharusnya hanya 1 bulan gaji dan biaya-biaya lain yang harus dibayar BMI dan hanya diserahkan ke menteri yang korup, akhirnya BMI jadi korban biaya penempatan yang amat tinggi dan gajinya harus direlakan untuk dipotong berbulan-bulan lamanya. UU 39 menjamin PJTKI/PPTKIS bebas hukum meski sebesar apapun ”dosa” mereka terhadap BMI, tapi disisi lain BMI tidak akan pernah bisa memejahijaukan PJTKI/PPTKIS.

Meski pemerintah sudah menandatangani Konvensi (kesepakatan) PBB tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya, tapi sampai hari ini pemerintah menolak merubah undang-undang TKI selaras dengan isi Konvensi tersebut. Pemerintah Indonesia sendirilah yang sengaja melanggar hak-hak asasi BMI dan keluarganya. Tapi BMI tidak akan tinggal diam dalam penindasan. Perjuangan akan terus kita kobarkan sampai tuntutan-tuntutan BMI untuk perubahan kondisi kerja dan perlindungan terpenuhi. Menyikapi pencabutan UU 39, BMI di Hong Kong kini bersatu membentuk Aliansi BMI-HK Cabut UU 39 yang akan semakin menguatkan dan memperbesar persatuan diantara BMI.

Maka dari itu, di Hari Perempuan Internasional kali ini, Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR) menuntut kepada:
Pemerintah Indonesia:
Hapus Biaya Traning! Tetapkan 1 bulan Gaji sebagai Biaya Penempatan!;
Cabut UU No.39/ 2004 Tentang PPTKILN! Segera rativikasi Konvensi PBB Tahun 1990;
Libatkan organisasi BMI dalam pembuatan kebijakan tentang buruh migran guna menjamin terwakilinya kepentingan BMI dalam setiap kebijakan Pemerintah;
Berikan Pelayanan Penuh Bagi BMI di Hari Minggu;
Bubarkan Terminal Khusus TKI;
Berikan Hak Kontrak Mandiri untuk semua BMI;
Berikan Hak Perpanjangan Paspor Bagi BMI Berkasus di Hong Kong.

Pemerintah Hong Kong:
Naikan upah sekarang juga! Legislate minimum wage;
Lindungi pekerjaan kami! Hapus 2 Weeks Rule;
Hentikan kekerasan terhadap PRT Asing;
Hapus pajak selamanya.

Hidup BMI!
Hidup Perempuan Indonesia!
Hidup Buruh Migran!
Hidup Solidaritas Internasional!

8 Maret 2009,
Heni (64441898), Kipty (91415126), Retno (95875206), Rosy (96098490), Rendy (62216714)Anggota PILAR: Akhwat Gaul, Alexa Dancer, Al Fattah, Al Hikmah, Al Istiqomah Internasional Muslim Society, Al Ikhlas, Arrohmah, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI-HK), Birul Walidain, Blueberry, Dance in Freedom (DIF), Forum Muslimah Al Fadhilah (FMA-HK), Ikatan Wanita Muslim Indramayu Cirebon (IWAMIC), Kenzho, Nur Muslimah Shatín, Speed Dancers, Shine Dancers, Terali Dancer, Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Wanodya Indonesian Club

ATKI-HK Assosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Hong Kong
G/F Jordan Road No. 2, Kowloon, Hong Kong SAR
Phone: +852 23147316 Fax: +852 27354559
www.atki-indonesia. org

Sabtu, 07 Maret 2009

International Women Day Of GSBI

Peringati Hari Perempuan International (HPI) 8 MARET 2009 dengan Menggelorakan Perjuangan Massa menuntut Hak atas Tanah, Upah dan Kerja.

diterbitkan oleh : Departemen Diklat dan Propaganda GSBI

Tidak lama lagi seluruh klas pekerja perempuan didunia akan memperingati hari bersejarahnya, yaitu Hari Perempuan Internasional yang jatuh setiap tanggal 8 Maret. Hampir seluruh dunia merayakan peristiwa ini, tak terkecuali di Indonesia. Sudah menjadi tradisi dalam pergerakan di Indonesia termasuk di organisasi GSBI, Hari Perempuan Internasional selalu diperingati dengan berbagai aktivitas terutama gelombang aksi-aksi massa guna menyuarakan aspirasi dan tuntutan rakyat atas persoalan kaum perempuan, dan persoalan rakyat secara umum.
Yang teristimewa dalam peringatan Hari Perempuan Internasional tahun ini adalah dimana dunia sedang berada dalam situasi dilanda krisis ekonomi akut di Negara-negara imperialis bahkan sampai merambat dampaknya bagi negera-negara berkembang seperti Indonesia. Gejalanyapun semakin terang bagi kita. Dari mulai terjadinya kejatuhan harga saham perusahaan-perusahaan besar di bursa efek saham internasional, kredit macet di sektor perumahan, over produksi (kelebihan hasil produksi) perusahaan-perusahaan besar penghasil barang-barang di sektor tehnologi informasi, hingga defisit anggaran yang dialami pemerintahan negara tersebut, sehingga kebangkrutan berbagai perusahaan besar dan kecil baik dinegeri-negeri Imperialis itu sendiri ataupun di Negara-negara bergantung dan jajahan atau setejahan jajahan seperti Indonesia serta meledaknya angka PHK di seluruh dunia. Sehingga kondisi rakyat di seluruh negeri justru semakin dijauhkan dari hak-hak dasar yang seharusnya mendapatkan perlindungan. Mayoritas rakyat di berbagai negeri di dunia ketiga, justru mengalami marjinalisasi secara structural dan sistemik pada seluruh aspek kehidupan, baik social-ekonomi, politik maupun budaya. Bahkan terus mengalami kemerosotan dari waktu ke waktu.

Untuk itu Hari Perempuan Internasional (HPI) di Indonesia selayaknya tidak hanya di peringati secara seremonial semata dan tidak hanya mencerminkan perjuangan dari kaum perempuan semata, tetapi harus lebih dari itu, yaitu perjuangan yang seharusnya dilakukan oleh seluruh rakyat tertindas di Indonesia, dengan aliansi dasar klas buruh dan kaum tani untuk pemenuhan hak sosial, ekonomi, politik dan budaya kaum perempuan serta untuk pembebasan seluruh rakyat Indonesia dari belenggu imperialisme dan sisa-sia feodalisme.

Kita melihat bahwa penindasan, penghisapan, perlakuan diskriminatif dan terlanggarnya hak dasar sosial, ekonomi, budaya dan politik kaum perempuan yang begitu hebat juga dialami oleh seluruh rakyat saat ini, hal ini akibat dari masih bercokol kuatnya budaya patriarchal-feodal-religius serta berdominasinya kekuatan Imperialisme asing di Indonesia yang masuk dan kokoh berdiri atas bantuan para pembantunya para borjuasi besar komprador yang saat ini di bawah pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-Kalla). Sebagai bawahan atau boneka Imperialis tentu harus menuruti segala kehendak tuan Imperialisnya saat ini yaitu AS. Di bawah rejim penghamba Imperialis inilah rakyat Indonesia terus dihimpit dengan berbagai penghisapan dan penindasan, berbagai cara digunakan untuk menyenangkan tuan Imperialisnya, kita memahami bahwa Imperialisme sangat bernafsu pada kekayaan yang dimiliki Indonesia, mulai dari bahan tambang, sumber bahan mentah untuk Industri sampai pada jumlah penduduk yang sangat cocok untuk pasar bahkan untuk penyedia tenaga kerja/buruh.

Selain borjuasi besar komprador dan kapitalis birokrat, Imperialisme juga menggunakan sisa-sisa sampah feodalisme yang saat ini masih bercokol di Indonesia yang dimanifestasikan pada tuan-tuan tanah lokal, seperti Jusuf Kalla, atau PTPN dan Perhutani. Lewat kolaborasi tiga poros utama (komprador-kapitalis birokrat-tuan tanah) di bawah kepemimpinan SBY-Kalla inilah Imperialisme dengan leluasa menggerakkan roda penindasannya terhadap rakyat di Indonesia. Petani disingkirkan dari tanah-tanahnya, jutaan petani hidup dalam kemiskinan. Padahal Indonesia selama ini dikatakan sebagai Negara agraris, tetapi dalam kenyataannya tanah di Indonesia sama sekali tidak mampu menghidupi rakyatnya sendiri, kaum buruh di bayar murah, kaum perempuan di marjinalkan dan mayoritas rakyat Indonesia berada dalam syarat-syarat hidup tidak manusiawi.

Maka peringatan hari perempuan International saat ini bila dihubungkan dengan perkembangan krisis ekonomi dunia saat ini, kaum perempuan pekerja dan seluruh sektor rakyat Indonesia justru semakin dijauhkan dari hak-hak sosial ekonomi maupun hak-hak sipil politiknya. Malah Perampasan terhadap upah, kerja dan tanah semakin Intensip, akibat dampak dari krisis global dan kerakusan imperialisme serta rezim komprador didalam negeri.

SEJARAH HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL

Hari Perempuan Sedunia sesungguhnya merupakan kisah perempuan biasa menoreh catatan sejarah; sebuah perjuangan berabad-abad lamanya untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, seperti juga kaum laki-laki. Di masyarakat Yunani Kuno, Lysistrata menggalang gerakan perempuan mogok berhubungan seksual dengan pasangan (laki-laki) mereka untuk menuntut dihentikannya peperangan; dalam Revolusi Prancis, perempuan Paris berunjuk rasa menuju Versailles sambil menyerukan "kemerdekaan, kesetaraan dan kebersamaan" menuntut hak perempuan untuk ikut dalam pemilu.

Ide/gagasan untuk memperingati hari Perempuan Sedunia sebetulnya telah dikemukakan sejak memasuki abah ke 20 ketika dunia industri ini sedang dalam masa pengembangan dan pergolakan, peningkatan laju pertumbuhan penduduk dan pemunculan paham-paham, ideologi-ideologi radikal sedang mengalami ledakan.

Pada tanggal 8 Maret 1857, para buruh perempuan di pabrik pakaian dan tekstil (disebut ‘buruh garmen’) di New York, Amerika Serikat mengadakan sebuah aksi protes. Mereka menentang kondisi tempat kerja yang tidak manusiawi dan upah yang rendah. Polisi menyerang para pemrotes dan membubarkan mereka. Dua tahun kemudian, juga di bulan Maret, untuk pertama kalinya para perempuan ini mendirikan serikat buruh sebagai upaya melindungi diri mereka serta memperjuangkan beberapa hak dasar di tempat kerja.

Tanggal 8 Maret 1908, sebanyak 15 ribu perempuan turun ke jalan sepanjang kota New York menuntut diberlakukannya jam kerja yang lebih pendek, menuntut hak memilih dalam pemilu dan menghentikan adanya pekerja di bawah umur. Mereka menyerukan slogan “Roti dan Bunga”, roti adalah sebagai simbol jaminan ekonomi dan bunga melambangkan kesejahteraan hidup. Pada bulan Mei, Partai Sosialialis Amerika mencanangkan hari Minggu terakhir di bulan Februari untuk memperingati Hari Perempuan Nasional.

Menyusul deklarasi Partai Sosialis Amerika tersebut, Hari Perempuan Nasional untuk pertama kalinya diperingati di Amerika Serikat pada tanggal 28 Februari 1909. Selanjutnya pada tahun 1913, para perempuan merayakannya pada hari Minggu terakhir bulan tersebut.
Sebuah konferensi internasional yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi sosialis dari seluruh penjuru dunia, berlangsung di Kopenhagen, Denmark pada tahun 1910. Konferensi Kaum Sosialis Internasional tersebut mengusulkan agar Hari Perempuan menjadi berwatak internasional. Usulan ini pertama kali terlontar dari Clara Zetkin, seorang perempuan Sosilias Jerman, yang mengusulkan Hari Internasional untuk memperingati terjadinya pemogokan para buruh garmen di Amerika Serikat. Usulan tersebut disepakati secara aklamasi oleh lebih dari 100 perempuan dari 17 negara peserta konferensi, termasuk diantaranya oleh tiga perempuan yang untuk pertama kalinya dipilih sebagai anggota parlemen Finlandia.

Hari Perempuan Internasional tersebut ditetapkan untuk menghormati gerakan menuntut hak-hak untuk kaum perempuan, termasuk di dalamnya hak untuk memilih (dikenal dengan ‘hak pilih’). Pada saat itu belum ada tanggal pasti yang ditetapkan untuk peringatan tersebut
Deklarasi kaum Sosialis Internasioanal mendatangkan pengaruh yang besar. Pada tahun berikutnya, tahun 1911, untuk pertama kalinya hari Perempuan Internasional dirayakan di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss. Tanggalnya 19 Maret dan lebih dari satu juta laki-laki dan perempuan tumpah ruah memenuhi jalanan dalam sebuah aksi rally. Di samping menuntut hak memilih dan bekerja di kantor-kantor publik, mereka juga menuntut hak-hak kerja dan menghentikan diskriminasi dalam pekerjaan.

Tidak sampai seminggu berikutnya, yakni pada tanggal 25 Maret, terjadilah Tragedi Kebakaran Triangle di New York. Lebih dari 140 buruh, kebanyakan adalah gadis-gadis Italia dan para buruh imigran Yahudi di perusahaan Triangle Shirtwaist, tewas lantaran rendahnya jaminan keamanan. Liga Serikat Buruh Perempuan dan Serikat Buruh Garmen Perempuan Internasional melakukan berbagai aksi protes menentang terjadinya tragedi yang sebenarnya dapat dihindari itu. Mereka juga melakukan pawai pada upacara pemakaman yang melibatkan lebih dari 100 ribu orang. Kebakaran Triangle tersebut berdampak sangat besar terhadap Undang-Undang perburuhan dan terhadap kondisi kerja yang buruk yang menyebabkan terjadinya bencana yang diperingati pada perayaan Hari Perempuan Internasional tahun-tahun berikutnya.

Sebagai bagian dari gerakan perdamaian muncul pada malam Perang Dunia I, para perempuan Rusia mengadakan peringatan hari Perempuan Internasional yang pertama pada hari Minggu terakhir di bulan Februari tahun 1913. Di tempat lain di Eropa, tanggal 8 Maret di tahun berikutnya, perempuan menyelenggarakan aksi rally untuk memprotes perang dan menyatakan solidaritas dengan saudara-saudara mereka lainnya.

Berkaitan dengan gugurnya dua juta tentara Rusia dalam peperangan, para perempuan Rusia kembali memilih hari Minggu terakhir pada bulan Februari 1917 untuk melakukan aksi mogok menuntut ”roti dan perdamaian” atau yang lebih dikenal dengan slogan“Bread and Peace!”. Para pimpinan politik menentang pemilihan waktu mogok, tetapi para perempuan tetap melakukannnya.

Akhirnya, empat hari kemudian, Tsar Rusia turun dari kursi kekuasaan dan pemerintahan sementara mengabulkan tuntutan hak pilih bagi kaum perempuan. Minggu yang bersejarah tersebut jatuh pada tanggal 23 Februari kalender Julian yang kemudian dipakai di Rusia, bertepatan dengan tanggal 8 Maret menurut kalender Gregorian yang dipakai di tempat lain.
Sejak saat itu 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional sebagai penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak sosial-ekonominya.
Semenjak awal tahun-tahun tersebut, Hari Perempuan Internasional menyandang dimensi global yang baru bagi kaum perempuan baik di negara maju maupun negara-negara berkembang.

Pada bulan Desember 1977, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengesahkan sebuah resolusi yang menetapkan sebuah Hari PBB untuk Hak-hak kaum perempuan dan Perdamaian Internasional. Empat konferensi perempuan sedunia PBB telah membantu mewujutkan tuntutan hak–hak dan partisipasi kaum perempuan di dalam proses politik dan ekonomi menjadi kenyataan.

Pada tahun 1975 PBB membangkitkan perhatian dunia akan persoalan perempuan dengan menetapkan tahun Perempuan Internasional dan mengadakan konferensi tentang perempuan untuk pertama kalinya di Mexico City. Sidang yang lain diselenggarakan di Kopenhagen, Denmark pada tahun 1980.

Pada 1985, PBB melakukan konferensi perempuan ketiga di Nairobi, Kenya, untuk meninjau apa saja yang telah dicapai pada akhir dekade ini.

Pada tahun 1995, Beijing menjadi tuan rumah Konferensi Perempuan Sedunia Keempat. Perwakilan dari 189 negara menyetujui bahwa ketidaksetaraan kaum perempuan dan laki-laki mempunyai dampak yang serius terhadap kesejahteraan seluruh umat manusia. Konferensi tersebut mendeklarasikan serangkaian tujuan bagi kemajuan kaum perempuan dalam berbagai wilayah kehidupan antara lain politik, kesehatan dan pendidikan. Dokumen terakhir yang dibahas dalam konferensi (disebut “Plaform Aksi”) menyatakan: “Kemajuan kaum perempuan dan pencapaian kesetaraan antara perempuan dan laki-laki adalah sebuah persoalan hak asasi manusia dan kondisi bagi terciptanya keadilan sosial dan hendaknya jangan dilihat sebagai persoalan perempuan yang tersendiri”

Lima tahun berikutnya, dalam sebuah sesi khusus ke-23 dari Majelis Umum PBB, “Perempuan tahun 2000 : Persamaan Jender, Pembangunan dan Perdamaian untuk Abad 21” meninjau kembali kemajuan dunia yang telah dilakukan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan dalam konferensi Beijing. Konferensi ini kemudian dikenal dengan konferensi “Beijing + 5”. Para delegasi mengalami kemajuan sekaligus mendapat rintangan-rintangan yang kuat. Para delegasi membuat kesepakatan lebih lanjut memprakarsai konferensi perempuan tahun 1995.

AKAR PENINDASAN PEREMPUAN INDONESIA
SEJARAH PENINDASAN PEREMPUAN INDONESIA

Pada awal masa perkembangan masyarakat di era komunal primitif, posisi perempuan dan laki-laki sama. Masyarakat komunal primitif yang hidup berkelompok dalam grup-grup (comune) dan berpindah-pindah (nomaden) ini memenuhi kebutuhan hidupnya dengan metode berburu hewan serta meramu sayuran dan buah-buahan. Dalam sebuah komune, harta benda (hewan hasil buruan serta sayuran dan buah-buahan) dimiliki secara kolektif oleh anggota komune yang kemudian dibagi secara adil sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota komune tersebut.
Dalam proses pemenuhan kebutuhan ekonominya, muncul kebutuhan untuk melakukan pembagian tugas di antara sesama anggota komune. Perempuan yang memiliki siklus alami reproduksi menyebabkan mereka lebih banyak mendapat pekerjaan meramu, sementara yang laki-laki berburu. Proses berburu pada jaman itu tidak ada rentang waktu kepastian kapan pulang kembali ke komune, karena metode berburu ini bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan lamanya. Ketidakpastian waktu berburu dan stok makanan yang mulai menipis, mendorong perempuan untuk mengembangkan metode bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.

Pada perkembangannya, proses bercocok tanam terbukti lebih efektif daripada berburu. Dan ini menjadikan perempuan kemudian lebih berdominan di kelompok, karena perempuan-lah yang menjadi tulang punggung pemenuhan kebutuhan ekonomi komune. Dominasi perempuan dalam hubungan produksi, kemudian berkembang pada dominasi dalam berbagai aspek kehidupan komune. Dalam pengambilan segala keputusan, setiap komune memiliki sebuah dewan permusyawaratan yang itu juga didominasi oleh perempuan. Dan bahkan, banyak sekali perempuan yang kemudian menjadi pimpinan komune. Pada fase inilah awal kemunculan pola matrilineal dalam komune, dimana garis keturunan komune berdasarkan pada garis keturunan perempuan/ibu yang menjadi pemimpin dalam komune tersebut.

Ketika sumber buruan semakin sulit diperoleh, maka beralihlah kaum laki-laki dari pekerjaan berburu untuk kembali ke komune dan terlibat dalam pekerjaan bercocok tanam yang sebelumnya lebih banyak dikerjakan oleh perempuan serta mengembangkan metode berternak hewan. Karena laki-laki jauh lebih mahir menggunakan alat kerja (berangkat dari pengalamannya sebagai pemburu hewan) dari pada perempuan, maka perlahan-lahan perempuan mulai terdesak oleh laki-laki dalam hubungan produksi. Baik itu pertanian maupun peternakan. Selain itu, juga karena perempuan banyak disibukkan oleh proses reproduksi yang dialaminya (hamil, melahirkan dan menyusui), yang mengakibatkan perempuan kembali mendapatkan pekerjaan meramu sebab pekerjaan tersebut lebih mudah dikerjakan sembari merawat anak. Akan tetapi, ketika itu belum ada diskriminasi terhadap perempuan.

Berkembangnya sektor pertanian, mengakibatkan persaingan antar komune untuk memperebutkan lahan yang subur dan dekat dengan sumber air. Persaingan ini mengarah pada perang antar komune. Dan tentu saja, komune yang memenangkan peperangan adalah komune yang memiliki banyak laki-laki dan tentu saja juga dipimpin oleh laki-laki. Karena laki-laki lebih mahir dan berpengalaman dalam menggunakan alat kerja dan senjata untuk berburu, bercocok tanam dan berternak.

Dari peperangan antar komune inilah, lahir klas dalam masyarakat. Sebab, komune yang kalah kemudian dijadikan sebagai budak oleh para pimpinan dan prajurit perang dari komune yang memenangkan peperangan. Sedangkan harta kolektif milik komune yang kalah, menjadi harta milik pemimpin komune dan hadiah bagi para prajuritnya. Sehingga, pemimpin-pemimpin komune yang menang perang berubah menjadi tuan budak. Peperangan antar komune yang semakin marak terjadi, mendorong adanya perubahan jaman dari komunal primitif menjadi jaman perbudakan. Dalam fase ini, perempuan tidak lagi mendominasi dan memimpin dalam komune. Sebagian besar dari mereka berada dalam klas budak yang tidak memiliki hak apapun atas dirinya sendiri yang itu artinya perempuan setara dengan barang.

Penindasan terhadap perempuan, dapat dilihat pada aspek memposisikan perempuan sebagai barang milik pribadi. Ini bisa dilihat ketika kepala komune memposisikan perempuan sebagai milik pribadinya, ”kamu tidak boleh berhubungan seks dengan orang lain selain saya, namun saya bisa saja berhubungan seks dengan semua budak perempuan yang saya miliki”. Praktek inilah yang mengilhami terjadinya keluarga monogami ataupun poligami yang bergaris keturunan laki-laki (patrilineal). Selain dimiliki untuk memuaskan hasrat seks tuan budak, perempuan juga diberi beban pekerjaan untuk mengolah pertanian, peternakan dan meramu makanan. Akan tetapi para budak tersebut (yang sebagian besar adalah perempuan), tidak memiliki hak apapun atas dirinya sendiri, dan bahkan tidak setiap hari mendapatkan makanan.
Penindasan budak oleh tuan (pemilik) budak ini yang mengilhami perlawanan budak kepada tuan budak dan menuntut pembebasan. Meningkatnya perlawanan budak, membuat tuan budak terpaksa memerdekakan budak-budaknya dan merubah klas budak menjadi tani hamba. Sedangkan tuan budak, karena kini hanya memiliki tanah sebagai harta pribadinya; maka berubah menjadi tuan (pemilik) tanah.

Akan tetapi, tuan-tuan tanah ini tentu saja tidak ingin kehilangan 100% tenaga kerjanya selama ini. Maka, diciptakanlah budaya patriarkhi. Perempuan dibebaskan secara relatif dengan membatasi ruang gerak perempuan serta menciptakan opini mengenai watak dasar perempuan. Budaya patriarkhi mengidentikkan perempuan sebagai manusia yang lembut, santun, lemah gemulai, dan hanya boleh bekerja dalam lingkungan terbatas. Fase feodal ini memang sengaja memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki demi kepentingan untuk menundukkan tani hamba yang memang mayoritas adalah perempuan.

Kedatangan bangsa asing ke Indonesia yang melakukan kolonialisme terhadap Indonesia, tidak pernah menghancurkan sistem feodalisme dalam masyarakat. Mereka justru menjadikannya sebagai basis sosialnya dalam melakukan penjajahan terhadap rakyat Indonesia. Sebab, mereka membutuhkan keberadaan tuan-tuan tanah tersebut untuk pendirian perkebunan luas sebagai jaminan suplai bahan mentah bagi industri di negara mereka. Mereka juga membutuhkan tenaga kerja murah agar dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, dan industri rakitan di dalam negeri Indonesia sebagai pasar bagi hasil produksi industri mereka serta konsumen atas barang dagangannya. Kolonialisme juga memanfaatkan budaya patriarkhi untuk mengkebiri perempuan Indonesia.

Dalam fase-fase selanjutnya, ketika Indonesia telah merdeka sekalipun, penindasan tersebut masih terus berlangsung. Hal ini karena kemerdekaan bangsa Indonesia telah dihianati oleh Perjanjian Damai Konferensi Meja Bundar yang menjadikan Indonesia sebagai negara setengah jajahan dan tetap menggunakan feodalisme sebagai basis sosialnya. Revolusi Hijau yang digencarkan Orde Baru tidak membongkar hubungan produksi feodalistik yang menjadi penyangga budaya patriarkhi. Akibatnya, kaum perempuan menjadi kalangan yang menanggung beban paling berat. Partisipasi perempuan dalam proses produksi pertanian di pedesaan semakin hilang, dan pergilah mereka bermigrasi ke kota atau luar negeri untuk mencari sumber penghidupan bagi mereka dan keluarganya.

DAMPAK KRISIS UMUM IMPERIALISME TERHADAP PEREMPUAN INDONESIA

Krisis yang dihadapi kapitalisme internasional -yang telah berkembang menjadi imperialisme- saat ini, membuat perempuan Indonesia mengalami penindasan yang semakin buruk dari hari ke hari. Monster raksasa tua yang selama ini menancapkan jari-jari penindasannya terhadap rakyat di berbagai negeri melalui program globalisasi dan pasar bebasnya itu telah semakin renta dan tidak berdaya lagi menanggung krisis di dalam tubuhnya sendiri, sehingga mereka kemudian melimpahkan beban krisisnya terhadap seluruh rakyat di negara-negara jajahan dan setengah jajahan, termasuk di dalamnya perempuan Indonesia. Saat ini, jumlah perempuan Indonesia merupakan mayoritas (54%) dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 70% menjadi buruh tani dan tani miskin, dan sisanya menjadi buruh industri, buruh migran, buruh jasa, buruh toko serta buruh pemuas seks (pekerja seks komersial).

Di pedesaan, mereka terbakar teriknya matahari desa dengan menjadi buruh tani atau petani penggarap dengan upah yang rendah dan menjadi sangat rendah karena diskriminasi upah yang dijalankan oleh para tuan tanah dan petani kaya terhadap mereka. Hingga kini, upah buruh tani perempuan di Jawa masih tetap berkisar antara 10 ribu hingga 20 ribu meskipun harga-harga bahan pokok telah naik berkali-kali. Tidak ada perbaikan hidup yang signifikan bagi mereka, yang ada justru menurunnya daya beli.

Bagi perempuan yang memiliki sedikit lahan sebagai petani miskin, kini semakin terdesak karena anjloknya harga gabah. Petani pani di Jawa Tengah yang kini sedang panen raya, terpaksa harus tersenyum kecut karena pemerintah tidak dengan sigap memberikan standar harga gabah minimum dan membiarkannya jatuh hingga angka Rp 1.200-Rp1.800 per kilogram untuk jenis gabah kering panen (GKP) (Kompas, 12 Februari 2009).

Ditambah dengan semakin maraknya perampasan tanah yang dilakukan oleh para tuan tanah besar pemilik perkebunan kelapa sawit, karet dll yang berusaha agar tetap mendapatkan keuntungan besar (super profit) di tengah-tengah menurunnya harga hasil produksi mereka, dengan jalan memperluas perkebunan mereka. Mereka merampas tanah para petani miskin yang tidak sanggup membayar uang sewa/bagi hasil karena rendahnya hasil produksi mereka. Atau karena tidak mampu hutang atas pembelian pupuk dan benih yang harganya semakin melambung tinggi.

Beban itu tentu saja akan semakin berat bagi perempuan tani miskin karena kebijakan pemerintah yang hendak melakukan impor 500.000 ton pupuk urea di tahun 2009 ini. Sebuah kebijakan yang sangat tidak tepat mengingat persoalan kelangkaan pupuk di Indonesia bukanlah karena menurunnya jumlah produksi pupuk dalam negeri, namun karena permainan para tengkulak besar yang ingin mengeruk keuntungan atas mahalnya harga pupuk.
Disebabkan oleh Kemiskinan yang akut dan lemahnya akses terhadap fasilitas pendidikan serta kesehatan, perempuan-perempuan desa ini memaksa mereka keluar dari desa untuk mencari pekerjaan di kota ataupun di luar negeri.

Perempuan yang memilih berangkat dari desa mengadu nasib ke luar negeri dengan harapan hidup lebih baik, justru terjebak dan tersekap dalam rumah-rumah megah di sejumlah negara di negeri tak dikenal. Menjadi buruh migran yang harus menanggung utang atas biaya penempatan yang tinggi dan juga mengalami berbagai kekerasan tanpa perlindungan pasti dari pemerintah. Di Hongkong, mereka harus menanggung hutang sebesar 25 juta rupiah yang berbentuk potongan gaji selama 7 bulan pertama. Di Taiwan, hutang para penyumbang devisa negara tersebut bahkan mencapai 45 juta rupiah yang juga berbentuk potongan gaji selama 15 bulan dan mengakibatkan mereka banyak yang dipenjara karena melarikan diri dari majikan yang disebabkan karena tidak sanggup lagi menganggung beban kerja yang berlebihan tersebut (kerja yang tak dibayar dan kekerasan oleh majikan).

Dan akibat dari krisis imperialisme, kini mereka banyak yang dipulangkan kembali ke negeri asalnya karena pemerintah negara tujuan lebih memilih mempekerjakan tenaga kerja dalam negerinya untuk meningkatkan daya beli masyarakat demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, misalkan dari Malaysia saja tidak kurang sekitar 3.000 TKI yang akan di pulangkan akibat krisis ekonomi.

Perempuan Indonesia kini juga semakin banyak yang terkungkung dalam kamar-kamar sempit di tempat-tempat prostitusi. Atau menjadi pengantin bayaran di luar negeri yang pada hakekatnya juga merupakan salah satu bentuk dari perdagangan perempuan. Bukan karena keikhlasan saat mereka harus membiarkan tubuh mereka terjual.

Perempuan buruh industri di perkotaan juga menghadapi ancaman PHK besar-besaran karena perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja yang selama ini sangat tergantung terhadap investasi, bahan baku, dan pasar di luar negeri kini kehilangan order ekspornya. Di Bandung, Jawa Barat, PHK telah mulai marak terjadi sejak tahun 2008 di sector tekstil dan sepatu serta elektronik yang menyebabkan perempuan-perempuan buruh itu harus kembali ke desa karena kehilangan pekerjaan.

Dalam sistem kapitalis global perempuan-perempuan Indonesia di jadikan sebagai “budak modern” dalam industri-industri perakitan mereka dengan upah murah, tanpa mendapatkan tunjangan apapun bagi keluarga meski banyak diantara perempuan-perempuan tersebut bekerja sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Di pihak lain, mereka juga tetap harus menjalankan tugas-tugas mereka sebagai “ibu rumah tangga” yang harus merawat suami, anak, memasak, dan berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya.

Kebijakan SBY-JK yang menaikkan subsidi bagi BBM sebesar 7 triliun rupiah sehingga total jumlahnya menjadi 38 triliun rupiah untuk tahun ini, atau kebijakan untuk menaikkan anggaran dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari alokasi awal 1,4 triliun rupiah menjadi 3,4 triliun rupiah dengan harapan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat, dan juga kebijakan menaikkan jumlah anggaran untuk bantuan Biaya Operasional Sekolah (BOS) melalui keputusan untuk mengalokasikan 20 persen pengeluaran APBN untuk sektor pendidikan; sesungguhnya bukanlah kebijakan yang berpihak pada rakyat. Selain karena tindakan ini hanyalah sekedar upaya SBY-Kalla untuk meraih simpati rakyat menjelang pemilu agar kelak dipilih kembali, kebijakan-kebijakan “populis” tersebut tidak pernah mampu menyelesaikan akar persoalan rakyat.

Amerika Serikat - selaku negara pemimpin imperialisme - yang selama ini mengagung-agungkan liberalisasi pasar dan menolak keras ikut campurnya negara terhadap mekanisme pasar yang selama ini menjadi “dogma” mereka agar mampu menjalankan monopoli pasar serta memperkokoh kedudukan dan kekuasaan perusahaan-perusahaan multi nasional mereka, kini terpaksa harus menelan ludahnya sendiri dengan tindakan mereka merengek-rengek pada senat mereka agar menyetujui suntikan dana demi pemulihan krisis yang dialaminya. Mulai dari pemangkasan ataupun penundaan pembayaran pajak (khususnya di sector perumahan yang sedang mengalami kredit macet puluhan juta dollar AS atas jual-beli rumah mewah), insentif pajak untuk pembelian barang-barang bertehnologi canggih (terutama pembelian mobil mewah), hingga suntikan dana untuk berbagai macam riset serta perusahaan-perusahaan yang mengalami kollaps karena sibuk berspekulasi di pasar saham.

Stimulus yang diberikan pemerintah kepada industri, tidak hanya dilakukan oleh pemerintah AS. Hampir di seluruh Negara di Eropa, di Jepang, China hingga Amerika Latin; kini melakukan tindakan serupa. Mereka berusaha keras melindungi produksi industri dalam negeri mereka sendiri. Sebuah tindakan yang “sangat tidak lazim” dilakukan di era “globalisasi” dan “liberalisasi” seperti saat ini. Terlebih, tindakan tersebut dilakukan oleh penyembah atau bahkan penggagas doktrin “pasar bebas” itu sendiri. Ke depan, kita akan menjadi saksi atas berjatuhannya perusahaan-perusahaan raksasa milik imperialis di berbagai Negara yang selama ini memonopoli perekonomian dunia.

Jadi, permintaan APINDO agar pemerintah memberikan stimulus terhadap industri dalam negeri tidak akan dapat menghentikan krisis ekonomi di dalam negeri Indonesia, karena sesungguhnya akar krisisnya bukanlah berasal dari dalam negeri, namun dari negeri imperialis itu sendiri. Krisis akut yang dialami imperialisme membuatnya melakukan tindakan perlindungan atas perekonomian dalam negeri mereka dengan jalan semakin memperparah penindasan terhadap rakyat di negara-negara jajahan dan setengah jajahan seperti Indonesia. Termasuk di dalamnya perempuan Indonesia.

Dimana secara politik, langkah yang diambil imperialis untuk mengatasi krisis yang dialaminya adalah: pertama, menggunakan dokrin “national security” untuk lancarkan perang agresi terhadap Negara yang tidak mau menjadi boneka dan melancarkan perang anti terror. Kedua, melakukan konsolidasi dan perluasan anggota NATO serta membangun pangkalan militer di negeri jajahan dan setengah jajahan. Ketiga, melancarkan serangan terhadap rejim anti AS. Keempat, menggunakan taktik “penyelesaian kontradiksi yang terjadi dalam Negara jajahan dan setengah jajahan dengan jalan member bantuan melalui LSM-LSM dan personal-personal sebagai kekuatan alternative. Dan kelima, lebih memperkeji penindasan terhadap rakyat di Negara jajahan dan setengah jajahan, khususnya buruh dan pekerja melalui politik upah murah, PHK, merumahkan. Dan bagi seluruh rakyat melalui pembayaran pajak. Ini artinya, imperialism melimpahkan beban krisisnya kepada rakyat di Negara jajahan dan setengah jajahan.

AKAR PERSOALAN PENINDASAN PEREMPUAN INDONESIA

Dari gambaran sejarah penindasan perempuan di atas, tampak bahwa ada dua akar penindasan terhadap perempuan. Pertama, sistem ekonomi yang sedang berkuasa dan berdominasi di Indonesia: Imperialisme yang kini semakin mempertajam penindasan terhadap perempuan dan seluruh rakyat Indonesia demi memindah krisis yang dihadapinya di dalam negeri dengan menggunakan sistem ekonomi feodalisme sebagai basis social atas penjajahannya di Indonesia. Kedua, budaya patriarkhi yang digunakan oleh imperialisme bersama tuan tanah dan borjuasi komprador di dalam negeri Indonesia untuk menindas perempuan Indonesia.

PEMILU 2009 BUKAN JALAN KELUAR ATAS PENINDASAN PEREMPUAN

Hingar bingar kampanye Pemilu 2009 yang banyak kita saksikan di televisi, radio, berbagai media massa maupun di jalan-jalan raya pada hakekatnya adalah pesta pora para borjuasi komperador sekaligus kompetisi di internal mereka untuk memperebutkan kursi kekuasaan di negeri ini.

Sekalipun banyak iklan politik yang mengkampanyekan bahwa partai A ataupun caleg si Fulan berjuang demi kepentingan kaum tani dengan mengupayakan swasembada beras dan peniadaan impor beras, menurunkan harga BBM hingga 3 kali, berkata bahwa mereka akan memperjuangkan upah layak bagi buruh industri, serta mengatakan bahwa partai mereka adalah partai yang mengakomodir aspirasi perempuan dengan mematuhi aturan menyangkut kuota 30% untuk caleg perempuan; namun semua itu sebenarnya hanya “manis di mulut” belaka.

Kelak, setelah mereka duduk di kursi parlemen, atau menjabat sebagai menteri kabinet, dan bahkan sebagai presiden sekalipun; mereka akan menunjukkan watak asli mereka sebagai hamba dan abdi imperialis. Mereka akan lebih memilih untuk menjadi anjing penjaga modal asing, menyembah-nyembah pada WTO, IMF, World Bank dll agar mendapat suntikan “bantuan” hutang luar negeri agar dapat mereka korupsi demi mengembalikan modal kampanye mereka yang telah habis berjuta-juta, lalu kemudian membabat habis subsidi di sektor kepentingan publik, menaikkan biaya pendidikan melalui UU BHP, mengeruk devisa dari remmitance yang dikirim buruh migran, mengimpor pupuk berjuta-juta ton, menaikkan upah buruh industri 0, sekian persen dan sekaligus kembali menaikkan harga BBM hingga 100 % dan mengakibatkan harga sembako terbang tinggi, dan menjual BUMN-BUMN yang mengelola tambang minyak, tambang emas, listrik, dan air kepada investor asing.

Sebab, Pemilu ini bukan pemilu rakyat, bukan pemilu kaum perempuan, bukan pemilu kaum tani, bukan pemilunya kaum buruh tapi pemilunya kaum borjuasi, sistem yang ditawarkannya juga sistem yang sama, begitu juga para kompetisi dalam Pemilu ini adalah semuanya dari klas borjuasi, mereka tidak mewakili kepentingan dari kaum perempuan dan klas buruh dan kaum tani sebagai penduduk mayoritas di negeri ini, tidak ada program yang tegas yang ditawarkan untuk mengakhiri penindasan dan penghisapan kau perempuan dan juga pembebasan seluruh rakayat Indonesia dari belenggu inperialisme dan sisa-sisa feodalisme.

Pemilu 2009, hanya akan menghabiskan bermilyar-milyar rupiah uang negara dari hasil devisa yang diperoleh buruh migran dan pajak yang diberikan rakyat kepada negara; tanpa pernah mampu menyelesaikan persoalan rakyat, dan termasuk perempuan di dalamnya.

MENCABUT AKAR PENINDASAN PEREMPUAN INDONESIA

Upaya yang harus dilakukan untuk mencabut akar penindasan terhadap perempuan adalah dengan mengorganisasikan perempuan dalam organisasi massa yang berwatak demokratis dan nasional (baik itu ormass perempuan ataupun ormass sektoral seperti : ormass tani, ormass buruh, ormass pemuda/mahasiswa) serta memiliki konsistensi dalam perjuangan menuntut reforma agraria.

Kenapa harus ormass yang berwatak demokratis dan nasional dan kenapa ormass tersebut harus memiliki konsistensi terhadap perjuangan menutut reforma agraria?
Reforma agraria merupakan upaya perombakan terhadap struktur agraria dengan jalan meniadakan monopoli atas kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria serta mendistribusikannya pada petani penggarap, baik laki-laki maupun perempuan. Reforma Agraria juga adalah pondasi dasar untuk terbangunnya Industrialisasi Nasional yang kuat dan mandiri.

Di Indonesia, telah ada payung hukum untuk pelaksanaan Reforma Agraria, yakni Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang diperkuat Ketetapan MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam.
Dengan jumlah tenaga kerja yang sangat besar dan kualitas teknologi produksi yang masih rendah serta sempitnya lapangan pekerjaan di sektor lain, satu-satunya cara meningkatkan penghidupan kaum tani adalah dengan cara ekstensifikasi lahan. Yang kerap dijadikan alasan untuk tidak menjalankan ekstensifikasi adalah menyempitnya lahan pertanian karena perkembangan industri dan jumlah penduduk.

Namun, permasalahan utama sebenarnya bukan itu, melainkan karena adanya penguasaan secara monopoli oleh segelintir kalangan nonpetani yang memiliki kekuasaan penuh dalam hal peruntukan tanah. Dengan demikian, tidak jarang kasus konversi lahan pertanian menjadi areal industri justru terjadi di kawasan pertanian produktif. Apabila tidak segera ditangkal dengan cara mendemokratiskan penguasaan dan kepemilikan tanah, gejala ini semakin memperburuk kehidupan keluarga petani gurem. Buruknya kehidupan keluarga kaum tani di pedesaan inilah yang menjadi salah satu muasal segala bentuk diskriminasi dan kekerasan yang dialami kaum perempuan.

Proses ekstensifikasi lahan yang dilakukan dengan mendistribusi lahan berlebih dari kepemilikan monopoli memberi jaminan ekonomi dan politik bagi kalangan yang selama ini paling terpinggirkan di pedesaan. Jaminan ini akan meningkatkan kemampuan produksi kaum tani miskin di pedesaan apabila dilanjutkan dengan upaya penataan produksi dan kolektivisasi pertanian. Langkah ini dapat ditopang dengan pembenahan proses produksi, terutama melalui intervensi teknologi modern dalam proses produksi pertanian.

Penataan dan kolektivisasi produksi pertanian di wilayah-wilayah yang sudah mengalami redistribusi lahan bertujuan untuk menjamin pemerataan hasil produksi dalam upaya mengangkat kesejahteraan. Jaminan ini berlaku untuk semua pihak yang bekerja di atas tanah tersebut, tanpa diskriminasi jender.

Bagi perempuan petani, reformasi agraria memberi jaminan lebih konkret atas hak ekonomi dan hak politik. Artinya, kaum tani perempuan memiliki basis yang memadai dalam hal partisipasi dan kontrol ekonomi maupun politik. Basis inilah yang akan menopang gerakan perempuan secara umum untuk menganulir segala bentuk diskriminasi, baik di lapangan politik, ekonomi, maupun kebudayaan.

Dalam konteks perjuangan perempuan, reformasi agraria berupaya membongkar segala bentuk relasi yang diskriminatif. Tidak adanya penguasaan monopoli akan menjadi landasan terselenggaranya demokrasi di pedesaan. Demokratisasi dalam relasi sosial akan menjadi antitesis bagi diskriminasi.

Dengan demikian, tidak mungkin gerakan reformasi agraria dapat dilakukan tanpa mengikutsertakan kepentingan gerakan perempuan. Gerakan perempuan pun sudah selayaknya terlibat aktif dalam gerakan reformasi agraria. Keduanya merupakan prasyarat yang masing-masing saling terkait dan tidak bisa dipisahkan.

Langkah lain yang harus dilakukan adalah mengatasi masalah keterbelakangan politik dan kebudayaan melalui aktivitas pengorganisasian (mendorong partisipasi aktif perempuan dalam berbagai aktifitas organisasi) serta pengintensifan pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai baru untuk mengatasi keterbelakangan budaya di kalangan kaum tani dan menciptakan budaya baru yang demokratis tanpa diskriminasi di pedesaan.

Sehingga, satu-satunya jawaban bagi penghapusan penindasan terhadap perempuan adalah perempuan harus mengorganisir diri dalam organisasi-organisasi massa yang demokratis nasional (baik itu ormass perempuan maupun ormass sektoral) yang memiliki komitmen tinggi dalam perjuangan reforma agraria.


KAUM PEREMPUAN DAN RAKYAT INDONESIA BERSATU MELAWAN REZIM ANTARI RAKYAT SBY-KALLA

Krisis yang melanda di negeri bergantung, jajahan, dan setengah jajahan seperti Indonesia mulai dari krisis energi, krisis pangan dan krisis financial tidak terpisah dari krisis yang dialami di negeri induk imperialis yaitu imperialis AS. Seluruh sektor, klas, dan golongan tidak ada yang terlepas dari badai krisis ini. Tinginya harga BBM, mahalnya harga kebutuhan pokok, dan meningkatnya perampasan tanah, upah dan kerja serta represifitas terhadap kaum tani, kaum buruh dan perempuan merupakan satu kesatuan dari krisis yang dibawa imperialis. Dan untuk mengatasi krisis yang di alami imperialis dia akan meningkatkan penindasan dan penghisapan di negeri-negeri bergantung, jajahan,dan setengah jajahan atau yang paling kejam yaitu perang atau agresi.

Rejim boneka pun dibentuk untuk melanggengkan kebijakan ekonomi dan politik imperialis dan rejim boneka juga membina kekuatannya bersama tuan tanah, komprador, dan kapitalis birokrasi sebagai kombinasi untuk menindas rakyat. Wacana kebudayaan kita pun banyak di isi dengan materi-materi pendidikan yang pro imperialis bahkan banyak institusi pendidikan dan intelektual-intelektual yang tidak mau peduli dengan persoalan rakyat.

Kaum perempuan selaku penduduk mayoritas, kaum tani sebagai sokoguru pembebasan, kaum buruh sebagi pemimpin pembebasan juga merasakan penindasan akibat krisis yang terjadi. Dan kesatuan rakyat amat diperlukan untuk menghancurkan dominasi dan hegemoni imperialis di negeri ini beserta rejim boneka dan antek-anteknya sebab hanya kekuatan rakyat sendirilah yang bisa membinasakan seluruh pendindasan, penjajahan, dan penghisapan dengan terus menerus mempertajam kontradiksi dan mengobarkan perlawanan disegala penjuru Indonesia bersama gerakan rakyat dan rakyat pekerja dibawah kepemimpinan buruh dan tani untuk mencapai kemenangan yang gilang gemilang.

Banyak keberhasilan yang telah di capai oleh gerakan kaum perempuan, oleh gerakan kaum tani, oleh gerakan kaum buruh, pemuda mahasiswa selama ini sehingga telah terbangun pemikiran untuk terus mengelorakan perlawan dengan persatuan klas pekerja di seluruh negeri dan kita mampu mengecilkan kekuatan rejim sehingga di tubuh mereka sendiri telah terjadi perpecahan.

8 MARET 2009 KAMPANYE MASSA LUAS UNTUK HAK-HAK KAUM PEREMPUAN DAN SELURUH RAKYAT INDOENSIA.

Dan tanggal 8 Maret 2009 nanti kita (GSBI) akan melakukan kampanye massa luas untuk menyuarakan tuntutan-tuntutan atas persoalan-pesoalan yang di hadapi oleh kaum perempuan serta masalah-masalah rakyat Indonesia (buruh dan tani) untuk di desakkan kepada negara untuk segera di penuhi.

Lagi-lagi persatuan rakyat amat diperlukan untuk menghancurkan penindasan dan penghisapan tersebut dan dengan propaganda politik rakyat melalui organisasi dengan mengembangkan taktik dan strategi untuk dapat mengecilkan kekutan musuh rakyat.

TUNTUTAN KITA DI KAMPANYE MASSA 8 MARET 2009

Adapun yang menjadi pokok-pokok tuntutan yang harus diperjuangkan dalam aksi tanggal 8 Maret 2009 adalah :

  1. Menuntut disedikan lapangan pekerjaan dan upah yang layak bagi seluruh rakyat;
  2. Menuntut Kenaikan Upah bagi buruh industri, buruh tani dan buruh perkebunan sesuai dengan Standar Kebutuhan Hidup Layak.
  3. Menuntut Kesetaraan Upah bagi buruh tani dan buruh perkebunan laki-laki dan perempuan.
  4. Menuntut Biaya Pendidikan yang Murah dan Merata bagi Anak Keluarga Buruh dan Kaum Tani.
  5. Menuntut Biaya Kesehatan yang Murah bagi Keluarga Buruh dan Kaum Tani.
  6. Menuntut Biaya Kesehatan Reproduksi (Posyandu, Alat Kontrasepsi, Biaya Persalinan) yang Murah bagi Perempuan Buruh dan Kaum Tani.
  7. Menuntut Jaminan atas Pemenuhan Hak-hak Normatif bagi Buruh Perempuan (cuti haid, cuti melahirkan, dan asuransi kesehatan bagi keluarga buruh perempuan).
  8. Menuntut Dibangunnya Fasilitas Penitipan Anak dan Tempat Menyusui di Tempat Kerja dan Tempat-tempat Umum.
  9. Menuntut di cabutnya SKB 5 menteri dan PB 4 Menteri
  10. Menuntut dihentikankan PHK dalam bentuk apapun;
  11. Menuntut dihapuskannya sistem kerja Kontrak dan Outsourcing;
  12. Menuntut di Tegakkan dan diLindungi hak Kebebasan Berserikat Bagi Kaum Buruh dan Adili Pengusaha yang Melanggar Hak-hak Dasar Kaum Buruh.
  13. Menuntut untuk menolak Hutang Luar Negeri, campur Tangan World Bank, WTO, IMF, CGI, ADB (berbagai lembaga keuangan Internasional) dalam Kebijakan Ekonomi dan Politik Nasional.
  14. Menuntut di Hentikan Kekerasan dan Perdagangan Perempuan dan Anak.
  15. Laksanakan Reforma Agraria dan Land Reform Sejati.

Penutup
Demikian pandangan dan sikap serta tuntutan perjuangan dalam memperingati Hari Perempuan Internasional 2009, yang menjadi tugas kita untuk menyebarluaskannya ke segala kalangan terutama seluruh rakyat. Dengan ini kami juga menyerukan kepada seluruh kaum perempuan, serikat-serikat/organissi perempuan, seluruh klas buruh, serikat-serikat buruh, kaum tani dan serikat-serikat tani, pemuda mahasiswa, perempuan, miskin kota dan kaum pergerakan di Indonesia untuk lebih memperhebat perjuangan dan persatuan kita di bawah pimpinan dan kekuatan klas buruh dan kaum tani dalam melawan rejim boneka imperialis AS dan anti rakyat, SBY-Kalla yang telah membuat penghidupan rakyat semakin merosot, susah dan miskin.
Kobarkan terus semangat kita pertinggi kerja konsolidasi serta galang terus persatuan rakyat untuk menyongsong 8 Maret 2009 dan juga Menyongsong SATU MEI sebagi hari besar kaum buruh dengan gegap gempita, karena hanya ditangan kitalah perubahan ini datang.
Perhebat perjuangan massa, pergiat kerja konsolidasi serta perkuat pekerjaan menggalang persatuan rakyat dalam Front Persatuan Nasional anti Imperialisme dan anti Feodalisme untuk melancarkan perjuangan Demokratis Nasional. /

SELAMAT MERAYAKAN HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL

PANDANGAN FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR)

Peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2009
Hentikan Perampasan Upah, Kerja dan Tanah Serta Rakyat

Salam Demokrasi !!
Tidak lama lagi seluruh klas pekerja perempuan didunia akan memperingati hari bersejarahnya, yaitu Hari Perempuan Internasional yang jatuh setiap tanggal 8 Maret. Hampir seluruh dunia merayakan peristiwa ini, tak terkecuali di Indonesia. Sudah menjadi tradisi dalam pergerakan di Indonesia termasuk, Hari Perempuan Internasional selalu diperingati dengan berbagai aktivitas terutama gelombang aksi-aksi massa guna menyuarakan aspirasi dan tuntutan rakyat atas persoalan kaum perempuan, dan persoalan rakyat secara umum.

Yang teristimewa dalam peringatan Hari Perempuan Internasional tahun ini adalah dimana dunia sedang berada dalam situasi dilanda krisis ekonomi akut di Negara-negara imperialis bahkan sampai merambat dampaknya bagi negera-negara berkembang seperti Indonesia. Gejalanyapun semakin terang bagi kita. Dari mulai terjadinya kejatuhan harga saham perusahaan-perusahaan besar di bursa efek saham internasional, kredit macet di sektor perumahan, over produksi (kelebihan hasil produksi) perusahaan-perusahaan besar penghasil barang-barang di sektor tehnologi informasi, hingga defisit anggaran yang dialami pemerintahan negara tersebut, sehingga kebangkrutan berbagai perusahaan besar dan kecil baik dinegeri-negeri Imperialis itu sendiri ataupun di Negara-negara bergantung dan jajahan atau setejahan jajahan seperti Indonesia serta meledaknya angka PHK di seluruh dunia.

Sehingga kondisi rakyat di seluruh negeri justru semakin dijauhkan dari hak-hak dasar yang seharusnya mendapatkan perlindungan. Mayoritas rakyat di berbagai negeri di dunia ketiga, justru mengalami marjinalisasi secara structural dan sistemik pada seluruh aspek kehidupan, baik social-ekonomi, politik maupun budaya. Bahkan terus mengalami kemerosotan dari waktu ke waktu.

Untuk itu Hari Perempuan Internasional (HPI) di Indonesia selayaknya tidak hanya di peringati secara seremonial semata dan tidak hanya mencerminkan perjuangan dari kaum perempuan semata, tetapi harus lebih dari itu, yaitu perjuangan yang seharusnya dilakukan oleh seluruh rakyat tertindas di Indonesia, dengan aliansi dasar klas buruh dan kaum tani untuk pemenuhan hak sosial, ekonomi, politik dan budaya kaum perempuan serta untuk pembebasan seluruh rakyat Indonesia dari belenggu imperialisme dan sisa-sia feodalisme.

Kita melihat bahwa penindasan, penghisapan, perlakuan diskriminatif dan terlanggarnya hak dasar sosial, ekonomi, budaya dan politik kaum perempuan yang begitu hebat juga dialami oleh seluruh rakyat saat ini, hal ini akibat dari masih bercokol kuatnya budaya patriarchal-feodal-religius serta berdominasinya kekuatan Imperialisme asing di Indonesia yang masuk dan kokoh berdiri atas bantuan para pembantunya para borjuasi besar komprador yang saat ini di bawah pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-Kalla). Sebagai bawahan atau boneka Imperialis tentu harus menuruti segala kehendak tuan Imperialisnya saat ini yaitu AS. Di bawah rejim penghamba Imperialis inilah rakyat Indonesia terus dihimpit dengan berbagai penghisapan dan penindasan, berbagai cara digunakan untuk menyenangkan tuan Imperialisnya, kita memahami bahwa Imperialisme sangat bernafsu pada kekayaan yang dimiliki Indonesia, mulai dari bahan tambang, sumber bahan mentah untuk Industri sampai pada jumlah penduduk yang sangat cocok untuk pasar bahkan untuk penyedia tenaga kerja/buruh.

Selain borjuasi besar komprador dan kapitalis birokrat, Imperialisme juga menggunakan sisa-sisa sampah feodalisme yang saat ini masih bercokol di Indonesia yang dimanifestasikan pada tuan-tuan tanah lokal, seperti Jusuf Kalla, atau PTPN dan Perhutani. Lewat kolaborasi tiga poros utama (komprador-kapitalis birokrat-tuan tanah) di bawah kepemimpinan SBY-Kalla inilah Imperialisme dengan leluasa menggerakkan roda penindasannya terhadap rakyat di Indonesia. Petani disingkirkan dari tanah-tanahnya, jutaan petani hidup dalam kemiskinan. Padahal Indonesia selama ini dikatakan sebagai Negara agraris, tetapi dalam kenyataannya tanah di Indonesia sama sekali tidak mampu menghidupi rakyatnya sendiri, kaum buruh di bayar murah, kaum perempuan di marjinalkan dan mayoritas rakyat Indonesia berada dalam syarat-syarat hidup tidak manusiawi.

Adapun yang menjadi akar penindasan terhadap perempuan Indonesia adalah . Pertama, sistem ekonomi yang sedang berkuasa dan berdominasi di Indonesia: Imperialisme yang kini semakin mempertajam penindasan terhadap perempuan dan seluruh rakyat Indonesia demi memindah krisis yang dihadapinya di dalam negeri dengan menggunakan sistem ekonomi feodalisme sebagai basis social atas penjajahannya di Indonesia. Kedua, budaya patriarkhi yang digunakan oleh imperialisme bersama tuan tanah dan borjuasi komprador di dalam negeri Indonesia untuk menindas perempuan Indonesia.

Maka peringatan hari perempuan International saat ini bila dihubungkan dengan perkembangan krisis ekonomi dunia saat ini, kaum perempuan pekerja dan seluruh sektor rakyat Indonesia justru semakin dijauhkan dari hak-hak sosial ekonomi maupun hak-hak sipil politiknya. Malah Perampasan terhadap upah, kerja dan tanah semakin Intensip, akibat dampak dari krisis global dan kerakusan imperialisme serta rezim komprador didalam negeri.

Oleh karenanya, atas dasar beberapa uraian tersebut di atas dalam kerangka menyambut Hari Perempuan Internasional (HPI) yang jatuh setiap Tanggal 8 Maret 2009 ini, menjadi relevan dan tentu saja akan memberi arti yang penting bagi kaum perempuan Indoensia serta seluruh rakyat Indonesia untuk kembali mengartikulasikan kepentingan rakyat maupun dalam kerangka mempromosikan pemenuhan serta perlindungan atas hak kaum perempuan serta hak asasi yang selama ini masih diabaikan.

Berkenan dengan arti penting perayaan tersebut, maka kami dari Organisasi-organisasi rakyat maupun organisasi social yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) dalam momentum peringatan Hari Pekerja Perempuan Internasional (HPI) ini, mengajak seluruh elemen rakyat Indonesia; baik itu yang hari ini secara aktif terlibat dalam perjuangan membela hak-hak perempuan Indonesia serta tergabung dalam berbagai lembaga dan organisasi massa perempuan, maupun yang bergerak aktif dalam berbagai organisasi massa buruh, tani, pemuda, mahasiswa, kaum miskin kota dan berbagai sector lainnya, untuk berpartisipasi secara aktif dalam menggelorakan perjuangan massa secara bersama-sama dengan mengkampanyekan berbagai persoalan rakyat, khususnya perempuan Indonesia yang tersebar di berbagai sector; yang hari ini sedang menanggung beban penindasan dan penghisapan sebagai akibat dari krisis imperialisme.

Berikut adalah persoalan pokok yang menjadi tuntutan FPR dalam Peringatan Hari Perempuan Pekerja Internasional (HPI) kali ini :
  1. Menolak PHK dalam berbagai bentuk.
  2. Menuntut disedikan lapangan pekerjaan dan upah yang layak bagi seluruh rakyat
  3. Menuntut Kenaikan Upah bagi buruh industri, buruh tani dan buruh perkebunan sesuai Standar Kebutuhan Hidup Layak.
  4. Menuntut Kesetaraan Upah bagi buruh tani dan buruh perkebunan laki-laki dan perempuan.
  5. Menolak Perampasan atas tanah serta berbagai bentuk penindasan feodalisme terhadap kaum tani.
  6. Stop overcharging (biaya penempatan) bagi buruh migran.
  7. Cabut Undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang PPTKILN (Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri).
  8. Menuntut Biaya Pendidikan yang Murah dan Merata bagi Anak Keluarga Buruh dan Kaum Tani.
  9. Menuntut Biaya Kesehatan yang Murah bagi Keluarga Buruh dan Kaum Tani.
  10. Menuntut Biaya Kesehatan Reproduksi (Posyandu, Alat Kontrasepsi, Biaya Persalinan) yang Murah bagi Perempuan Buruh dan Kaum Tani.
  11. Menuntut Jaminan atas Pemenuhan Hak-hak Normatif bagi Buruh Perempuan (cuti haid, cuti melahirkan, dan asuransi kesehatan bagi keluarga buruh perempuan).
  12. Menuntut Dibangunnya Fasilitas Penitipan Anak dan Tempat Menyusui di Tempat Kerja dan Tempat-tempat Umum.
  13. Menuntut dihapuskannya sistem kerja Kontrak dan Outsourcing
  14. Menuntut di Tegakkan dan diLindungi hak Kebebasan Berserikat Bagi Kaum Buruh dan Adili Pengusaha yang Melanggar Hak-hak Dasar Kaum Buruh
  15. Menuntut untuk menolak Hutang Luar Negeri, campur Tangan World Bank, WTO, IMF, CGI, ADB (berbagai lembaga keuangan Internasional) dalam Kebijakan Ekonomi dan Politik Nasional.
    Menuntut di Hentikan Kekerasan dan Perdagangan Perempuan dan Anak.
  16. Laksanakan Reforma Agraria dan Land Reform Sejati;

Rabu, 04 Maret 2009

6 Perusahaan Di Propinsi Banten Tidak Mampu Gaji Buruh

PT ARGO PANTES TBK TANGGUHKAN UPAH TAHUN 2009

SERANG, TRIBUN-Pemerintah Provinsi Banten baru menyetujui enam perusahaan besar di Tangerang dan Serang yang mempekerjakan 10.000 pekerja untuk tidak melaksanakan upah minimum kabupaten dan kota (UMK) tahun 2009.

Keputusan dibolehkannya penangguhan UMK akan diperketat menyusul banyaknya permintaan perusahaan untuk tidak me­laksanakan pembayaran upah berdasarkan upah minimum tahun ini. Dalam keputusan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah No. 561/kep. 56-huk/09, menyetujui penangguhan pelaksanaan upah minimum PT Sugih Brothers (Serang), PT Panca Citra Wira (Serang), PT Masa Baru (Tangerang), PT Homeware Internasional (Tangerang), PT Argo Beni Ma­nunggal (Tangerang) dan PT Argo Pantes (Tangerang). Dikeluarkannya keputusan tersebut setelah dilakukan kajian dari berbagai aspek terhadap kondisi keuangan dan produksi yang ditanggung perusahaan tersebut.

"Kami lakukan kajian terlebih dahulu kepada perusahaan-perusahaan itu," terang Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Banten Eutik Suharta, kemarin. Menurut Eutik, penangguhan pelaksanaan upah minimum perusahaan harus disertai dengan enam hal,

Pertama; harus ada naskah asli kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja atau serikat buruh peru­sahaan yang bersangkutan.

Kedua; laporan keuangan peru-sahaan yang terdiri dari neraca perhitungan rugi atau laba berserta penjelasan-penjelasan selama dua tahun terakhir.

Ketiga; harus ada salinan akte pendirian perusahaan

Keempat; harus ada data upah me-nurut jabatan pekerja buruh

Kelima; jumlah pekerja atau buruh seluruhnya dan jumlah pekerja yang dimohonkan penangguhan pelaksanaan upah minimum.

Keenam; harus ada catatan perkembangan produksi dan pemasaran selama 2 tahun terakhir, serta rencana produksi dan pemasaran untuk dua tahun yang akan datang.

la menjelaskan, dari enam perusahaan yang pengajuan penangguhannya dikabulkan itu katanya, ada satu perusa­haan yang disepakati harus membayar UMK dengan nilai antara UMK 2008 dan UMK 2O09. Perusahaan tersebut adalah PT Argo Pantes. Sedang­kan lima perusahaan lainnya diperbolehkan untuk mem­bayar senilai UMK 2008.

"Masih ada dua perusahaan lagi yang masih kami pertimbangkan pengajuannya," kata Eutik.
Seperti diketahui, UMK Kabupaten Tangerang yaitu se­besar Rp 1.055.640 sedangkan untuk UMK Serang yaitu sebesar Rp 1.030.000. Untuk Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang mengalami dua kali pengesahan UMK, Kabupaten Tangerang dari Rp 1.045.500 menjadi Rp 1.055.640 dan Kota Tangerang tahun 2009 dari Rp 1.054.669 menjadi Rp 1.064.500.

Wakil Ketua Advokasi Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kabu­paten Serang, Maya Agung Dewandaru mengatakan, memang secara aturan penang­guhan UMK itu diperboleh­kan, asalkan hal itu sesuai de­ngan tahapan. "Jadi kalau sesuai prosedur kami tidak masalah," kata Agung.

Kesulitan Keuangan
Di Kabupaten Tangerang, sedikitnya empat perusahaan sudah menyatakan ketidak-mampuannya membayar gaji sesuai UMK 2009. Keempat perusahaan tersebut, PT Fiberindo diantaranya sudah mengajukan penanguhan UMK 2009 ke Gubernur Banten, dan oleh Gubernur Banten pengajuan penangguhan tersebut ditolak, karena tidak dilengkapi dengan pembicaraan dengan Bipartit. Sementara tiga perusahaan lainnya yang juga tidak dileng­kapi sejumlah persyaratan ajuan penangguhan hingga kini belum diterima oleh Gubernur Banten. "Saya tidak tahu ketiganya sudah mengajukan ke Gubernur apa belum, namun PT Fiberindo ditolak dan disarankan melengkapi kekurangan syarat itu. oleh karena itu mereka harus tetap menjalan UMK 2009 sebesar Rp 1.055. 640," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Tangerang, Hasdanil kepada Tangerang Tribun, Selasa (3/3).
Hasdanil menjelaskan, jika ada perusahaan yang tidak menerapkan UMK tahun ini, maka terancam sangsi penjara dan denda ratusan juta se-bagaimana aturan UU Nomor 13 tahun 2000.

Diberitakan sebelumnya, karyawan PT Fiberindo Inti Prima yang beralamat di Jalan Raya Serang-Cikupa akan segera diancam pidana. Pasalnya perusahaan tersebut telah melakukan memberikan gaji dibawah ketentuan UMK Kabupaten Tangerang atau hanya sebesar Rp 1.010.850 dari ketetapan UMK 2009 Rp 1.055.640. "Kami akan segera menindaklanjuti masalah ini. Peru­sahaan yang bergerak dibidang textil ini bisa dipidanakan sesuai UU Nomor 13 Tahun 2000," tegas Hasdanil. (dd/Bud)

UMK PERUSAHAAN YANG DITANGGUHKAN DIWILAYAH PROPINSI BANTEN
1. PT Sugih Brothers;Serang
2. PT Panca Citra Wira;Serang
3. PT Masa Baru;Tangerang
4. PT Homeware Internasional;Tangerang
5. PTArgo Beni Manunggal Tangerang
6. PT Argo Pantes Tangerang