Selasa, 09 Juni 2009

K3 di Perkebunan Terabaikan Puluhan Penderes Karet Kehilangan Bola Mata

Halaman Depan 08-06-2009
*ramita harja

MedanBisnis – Medan Demi menyambung hidup SA, 38, rela menjadi penderes di PT Bakrie Sumatera Plantation (BSP) selama bertahun-tahun, perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan tepatnya Aek Slabat. Yang didapatnya, bukan segepok uang dari hasil keringatnya tapi ia harus kehilangan salah satu bola matanya.

Pengalaman SA itu terungkap dalam hasil penelitian yang dilakukan Kelompok Pelita Sejahtera (KPS), lembaga swadaya masyarakat yang concern terhadap pekerja. Selain SA, menurut KPS, pengalaman serupa pada umumnya dialami buruh yang bekerja menderes getah karet, di mana mengalami kebutaan. Bahkan KPS sudah menemukan sepuluh kasus kebutaaan dialami penderes karet ini, sebagaimana temuan dari penelitian K-3 yang dilakukan di enam perusahaan di Sumut, yakni PTPN2 Kula Binge dan Sawit Seberang, PT Lonsum Turangi, PT Socfindo Matapao dan Aek Loba, PT Anggolo Eastern Plantation.
Dalam kasus SA, memang bola matanya diganti dengan yang lebih indah dari aslinya, jika dilihat dari bentuk dan warnanya.

Namun apalah daya, pengganti bola matanya hanya sebagai hiasan belaka. Tidak berfungsi seperti mata biasanya, untuk melihat. Kejadian itu ia alami pada tiga bulan pertama tahun lalu. Awalnya ia hanya mengalami sakit mata biasa. Iritasi begitulah bahasanya. Dia tak menyangka iritasi tersebut akhirnya terus berlanjut. Seperti orang yang sudah rabun, penglihatannya tak lagi sejernih awalnya.

Bukan hanya SA, masih ada yang lainnya seperti RS (33) dan SU. Buruh dengan status harian lepas (BHL) ini bekerja di PT Sucfindo Matapao. Agaknya, nasib RS dan SU akan serupa seperti SA. Saat ini, kondisi kebutaan yang mereka alami sudah mencapai 75%. Belum lagi SP yang sudah bekerja selama 12 tahun. Kini mata kanannya diganti seperti bola kelereng.

“Berobat juga. Pengobatan dapat dari perusahaan, tapi ya seperti itu, apa adanya saja. Setelah mata diangkat, dapat uang Rp 6 juta,” kata SP saat dihubungi MedanBisnis, Rabu (27/5).

SP berkata, perusahaan memang memberikan perlengkapan kerja. Tapi perlengkapan kerja seperti kacamata dan helm yang diberi tidak layak. Dipakai ataupun tidak sama saja. Ia menceritakan kacamata yang diberikan perusahaan tidak menutupi semua mata dan wajah, sehingga getah-getah karet masih bisa masuk melalui sela-sela kacamata.
Terlebih kacamata hanya bisa dipakai sekali untuk menderes pohon karet. Jika dipakai dua kali, kacanya mulai tidak jernih lagi. Itu pula yang membuat lama pekerjaan borongannya.

Direktur Eksekutif KPS, Gindo Nadapdap, mengemukakan, dari hasil penelitian yang mereka lakukan pada umumnya buruh yang bekerja menderes getah karet mengalami kebutaan. Ini adalah salah satu contoh kecelakaan kerja yang membahayakan.

“Seperti di PT Bakrie Sumatera Plantation ada 3 orang. Keselamatan kerja para buruh itu memang sangat memprihatinkan. Bahkan mereka tidak tahu bagaimana memakai program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang mereka dapat, tidak pernah disosialisasikan,” kata Gindo Nadapdap, melalui staf Litbang, Manginar Situmorang saat itu.

Manginar menjelaskan ada tiga bidang kerja yang melingkupi di perusahaan perkebunan. Seperti memanen, menyemprot, dan memupuk. Ketiga bidang pekerjaan tersebut harus dilengkapi dengan peralatan kerja yang berbeda pula. Misalnya saja seperti memanen yang pekerjanya banyak mengalami penderita rabun dan buta, alat-alat yang harus mereka dapatkan seperti helm, pelindung mata (kaca mata), sarung tangan, dan sepatu bot sesuai dengan standar.

Menurut Manginar, alat-alat ini dianggap sebagai pencegahan. Akibat pencegahan tidak dilakukan sejak dini, tak heran kalau kecelakaan kerja kerap tejadi. Dari penelitian yang dilakukan, rata-rata kecelakaan kerja yang terjadi sebanyak 12 kasus dalam sebulan di enam perusahaan yang termasuk kedalam penelitian. Itu artinya, sedikitnya ada 144 kasus kecelakaan kerja yang terjadi terhadap enam perusahaan perkebunan tersebut.

Ironisnya, pemerintah seolah tutup mata dan telinga melihat kenyataan tersebut. Belum ada sanksi nyata yang diterapkan pemerintah, yakni Dinas Tenaga Kerja Propinsi dan kabupaten/kota kepada pengusaha yang mengabaikan peraturan tentang pelaksanaan K-3. Disnaker selalu berkilah dengan minimnya jumlah pengawas.

Kepala Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kadisnakertrans) Sumut, Rapotan Tambunan mengatakan jumlah pengawas di Disnaker Propinsi hanya 77 orang. Menurutnya, jumlah tersebut tidak sebanding dengan jumlah perusahaan yang ada di Sumut yakni mencapai 11.000 perusahaan. Dia mengatakan idealnya satu Disnaker kabupaten/kota terdapat 15 pengawas. “Ada juga yang tidak ada pengawasnya di Disnaker kabupaten kota,” ujarnya.

Sayang, saat MedanBisnis mencoba mengkonfirmasikan ke beberapa perusahaan yang pekerjanya mengalami kecelakaan kerja tersebut mereka tidak transparan, bahkan berusaha membelokkan informasi. PT Lonsum misalnya, humasnya, Ikrama malah meminta kepada MedanBisnis agar membuat tulisan yang bisa membuat image perusahaan bagus. “Kalau bisa judulnya K-3 di perusahaan-perusaha an,” katanya saat dikonfirmasi lewat telepon.

Selain itu dia juga tidak menjawab pertanyaan dari MedanBisnis, mengenai hasil investigasi yang ditemukan KPS. Ikrama kemudian justru mengajak MedanBisnis untuk turun ke lapangan melihat pekerja di Lonsum.

Begitupula dengan PT BSP. Saat dihubungi MedanBisnis, salah seorang operator mengimbau untuk turun langsung ke Kisaran. Soalnya PT BSP yang terletak di Medan hanya bergerak di bidang marketing. “Kalau untuk tahu kerjanya di Kisaran. Di sana kantornya,” katanya sambil menutup telepon.

1 komentar:

  1. semoga hal seperti ini tidak akan terjadi lagi.
    www.sepatusafetyonline.com

    BalasHapus